Sejak jaman Covid hingga sekarang, kata yang paling sering muncul dari pemerintah adalah efisiensi anggaran.
Jalan rusak yang tak kunjung diperbaiki, program atau kegiatan yang terkesan seremonial dan tidak berkelanjutan, subsidi pertanian dan pendidikan yang dikurangi atau malah ditiadakan, serta tidak adanya ruang terbuka hijau dan minimnya ruang publik menjadikan efisiensi anggaran sebagai kambing hitam tidak maksimalnya kinerja dan peran pemerintah.
“Dunia sudah jungkir balik,” umpat Danil di akhir pekan yang baginya kini selalu muram. “Tidak usah terlalu dipikirkan sikap Adek itu,” balas Alex yang gemar mengejek teman seperjalanan.
Alex membubuhinya dengan kata-kata yang cenderung berbau hal-hal melankolik dramatik. Ia suka membentangkan sejumlah kisah Danil yang beberapa tahun ini hendak dikuburnya, dilupakannya. Lelucon yang bisa dikategorikan sarkas. Tapi lantaran keduanya sudah berteman sejak lama, itu jadi semacam jalan keluar dari kegaduhan di kepala masing-masing.
Di sisi berbeda, bisa juga dipahami satu strategi kuno Alex untuk menutupi kegelisahannya sendiri, karena ketidakjelasan nasib kesenian di Lampung yang berarti berimbas pula pada ketidakjelasan nasibnya.
“Lihat ini, Lex, mangkrak lagi bangunan pemerintah,” Danil menunjukkan salah satu akun Instagram sebuah media yang mengangkat tentang mangkraknya Gedung UMKM yang setahun lalu dibangun Pemerintah Provinsi Lampung.
Ya, gedung Pasar UMKM di kawasan PKOR Way Halim, Bandarlampung, yang diresmikan sejak 4 Juni 2024 lalu, hingga kini masih belum beroperasi meski dibangun dengan dana CSR dari 14 BUMN senilai Rp9 miliar.
Di satu sudut PKOR, bangunan dua lantai itu tampak sepi, penuh debu, etalase kosong, dan rumput liar mulai menutupi bagian luar gedung.
Banyak warganet yang menyayangkan kondisi pasar UMKM itu. Karena dianggap hanya menghambur-hamburkan anggaran pemda tapi tidak bermanfaat bagi warganya. Seorang netizen lain menyebut karena lokasinya terlalu belakang di area PKOR membuat masyarakat enggan berkunjung. Terlebih untuk masuk PKOR tak gratis, harus bayar tiket masuk.
Di akun TikTok sebuah media memberitakan ‘Pasar UMKM Sepi Bak Kuburan’ sudah ditonton puluhan ribu kali dan mengundang banyak komentar.
Tak sedikit Netizen yang menyebut bahwa pembangunan pasar itu tidak mengutamakan konsep, fungsi dan akses masuk, tapi sekadar penyerapan anggaran saja.
“Yang penting menyerap anggaran, itupun anggaran yang keserap untuk pembangunannya kecil, lebih besar yang keserap di hal lain,” tulis sebuah akun.
“Yang penting membangun, ada proyek, berguna atau tidak urusan belakangan. Iya kan,” tulis akun s.
“Gimana mau rame, baru masuk saja sudah dikenakan parkir, seharusnya bangun yang bermanfaat jangan asal habis anggarannya,” tulis akun lainnya.
“Ini tujuannya bangun UMKM, cuma tempatnya nggak tahu kenapa dibuat di situ. Katanya buat rest area bypass kan, berarti harus ditata ulang sol pagar yang menutupi itu, dan harganya joss,” tulis akun y.
“9 miliar buat perbaikan sekolah-sekolah rusak atau mendanai program apa gitu lebih bermanfaat daripada kosong begitu nggak guna,” tulis akun x.
Danil terus gulir androidnya. Alex ikut mengamati sambil menghisap rokok kreteknya, garuk-garuk kepala, meneguk kopi, menghela nafas berkali-kali. Keduanya mencoba menerka apa yang terjadi dengan pembangunan pasar UMKM Lampung yang melibatkan 14 BUMN dengan koordinator proyek PT BRI.
Gabungan perusahaan pelat merah itu lalu menunjuk PT. Beringin Karya Sejahtera dan PT. Dacrea Design Engineering Consultant sebagai vendor proyek. Gedung pasar ini lalu diresmikan oleh Arinal Djunaidi, saat masih menjabat Gubernur Lampung, turut dihadiri perwakilan Menteri BUMN pada 4 Juni 2024 berbarengan dengan acara Pekan Raya Lampung (PRL) 2024.
Meski tentu Danil dan Alex, yang memang dikenal julid, hanya gemar menggerutu dan mengomentari, tidak bermaksud mencari solusi.
“Pemerintah kita ini memang aselole, makin nunjukin bahwa mereka memang nggak jelas visi-misi pembangunannya. Barangkali motif utamanya hanya ingin dapat keuntungan pribadi yang sebanyak-banyaknya ketika menjadi walikota, bupati, atau gubernur,” akhirnya Danil berkomentar setelah capek menggulir layar androidnya.
“Apa sih, sok tahu lu, lebih baik pikiran Adek itu,” ujar Alex.
“Gua baik-baik saja,” tegas Danil.
Alex memilih mengartikan sebaliknya dan karena itu perdebatan kerap muncul, tentu tanpa baku hantam. Bagi keduanya ini salah satu cara merayakan kehidupan dalam kekacuan dan ketidakjelasan.
Rudi yang sejak tadi memerhatikan mereka, sesekali ikut nimbrung menimpali. Dia kini sudah terbebas dari harapan menjadi eksportir kaos. Belakangan ia sering marah-marah karena rupiah sempat menguat atau jika konsumen komplain dengan barang yang dikirimkan. “Aduh, Bung. Hancur bisnis kita,” keluhnya.
Dalam banyak hal ketiganya memiliki pandangan dan sikap berbeda. Mulai tentang pakaian, hobi, wanita, jenis musik, genre film, buku, pekerjaan, waktu, dan mungkin Tuhan.
Mereka dipertemukan di Tanjungkarang, sebelum walikota gemar membangun jembatan layang, sebelum ketua-ketua partai politik lupa ingatan, sebelum para mahasiswa kehilangan daya kritis dan intelektualitasnya, dan kuliah hanya untuk satu alasan, ijazah.
“Masak apa kita malam ini, Bung?” tanya Rudi tiba-tiba setelah merasa perutnya tak lagi cukup dijejal wafer tango. Alex yang sedang menonton acara olah raga menoleh, melihat jam, berpikir.
Danil tak akan mengeluarkan pendapat mengenai hal ini, ia masih tekun dengan mobile legend-nya. Perdebatan tidak berlangsung sengit. Alex menyebutkan jenis-jenis sayuran yang bisa diolah oleh keduanya. Rudi kembali mengusap perutnya yang kembali bersuara, ia menyebut sejumlah warung sayuran yang masih buka hingga pukul 10 malam.
“Sop?” tanya Alex.
“Boleh, Nil, ini duitnya, sekalian beli air mineral gelasan satu kardus & dua bungkus rokok, ya!” ujar Rudi. Danil yang semula pura-pura tak mendengar diskusi tentang kuliner segera berdiri.
“Apa lagi?” tanyanya dengan raut wajah yang selalu tampak baik-baik saja.
“Sementara itu dulu.”
Danil tanpa banyak pertimbangan segera meluncur, merobek malam di Tanjungkarang yang baunya amis kesedihan akibat efisiensi di segala sisi. (*)
