Tag: tuna netra

  • disabilitas

    Penyandang disabilitas di Indonesia selamanya tak akan pernah mendapat tempat yang layak. Mereka, bukan cuma minoritas, tapi dianggap warga kelas dua, bahkan oleh pemerintah sekalipun, yang semaunya saja menciutkan anggaran atas nama efisiensi. Entitas mereka hanya dianggap ‘ada’ ketika kontestasi politik digelar, itu saja. 

    (Lontar.co): Sudah dua malam ini, Sudarman tak bisa menjajakan jasanya. Hujan yang kerap datang tiba-tiba, membuatnya khawatir jika tetap memaksakan keluar rumah.  

    Untuk membawa payung pun, rasanya tak mungkin. Sebab, ia juga harus membawa tongkat yang selama ini menjadi ‘mata’ penuntun jalannya. 

    “Untung di rumah masih ada mie instan, jadi agak tenang,” ujarnya. 

    Menjadi tukang pijat keliling, sudah menjadi profesi Sudarman jauh sebelum ia menikah. Hasilnya tak seberapa, bahkan jauh dari memadai, tapi untuk penderita tuna netra seperti dirinya, hanya itu pekerjaan yang bisa ia lakukan. 

    Bayarannya pun seadanya, malah kebanyakan yang memakai jasanya justru karena iba. 

    “Sehari kadang dapat satu, paling banyak dua. Tapi, sering juga nggak dapat. Ya, dicukup-cukupin lah”. 

    Sudarman adalah satu dari sedikit penjaja jasa pijat keliling tuna netra yang masih mencoba bertahan, seiring makin sedikitnya pengguna jasa pijat keliling di Bandarlampung. 

    Terkadang ia harus menempuh jarak yang cukup jauh, sembari berharap ada yang memakai jasanya. 

    “Kalau capek, istirahatnya di masjid, terus lanjut jalan lagi. Nanti kalau alarm jam sudah bunyi, itu tandanya sudah jam 10 malam, baru saya pulang,” tuturnya. 

    Sebenarnya, Sudarman ingin pula mencari pekerjaan lain. Apalagi, pagi hingga sore hari, waktunya lebih banyak dihabiskan di rumah. 

    “Dulu pernah ngelamar jadi pelayan di toko material dekat sini, tapi nggak diterima. Mungkin bosnya takut kalau saya tidak bisa bekerja, padahal saya masih kuat kalau angkat-angkat semen”. 

    Ia sempat  pula ikut berjualan kerupuk bersama teman-teman sesama komunitas tuna netra, tapi dagangannya kerap tak laku, pernah pula ditipu. 

    Tinggal di sepetak bedeng kontrakan yang ada di Kemiling, penghasilan utama Sudarman dan keluarganya bukan dari jasa pijat keliling, melainkan dari jasa cuci baju yang digeluti istrinya, dengan rata-rata pendapatan sehari Rp75 ribu, tapi juga tak menentu. 

    “Sekarang paling bantu-bantu istri nyuci pakaian orang, apalagi kalau sedang banyak yang harus dicuci”. 

    Mirisnya, meski masuk kategori tak mampu, tapi Sudarman dan keluarganya tak pernah terdata sebagai penerima bantuan. 

    “Alhamdulillah kalau masih dianggap mampu. Saya juga tak mau ngemis-ngemis biar dapat bantuan,” akunya. 

    Memang pernah ada yang datang mendata, tapi bantuan itu tak kunjung datang,”mungkin saya dianggap bukan warga asli”. 

    Musim kampanye lalu, ia juga sempat ditemui tim sukses salah satu calon, diiming-imingi dapat bantuan tiap bulan, dengan syarat harus memilih calon bawaan tim sukses itu,”tapi, istri dan saya sudah milih, sampai sekarang bantuannya nggak ada,” ujarnya sembari tersenyum. 

    Sejauh ini, tingkat keberpihakan terhadap penyandang disabilitas di Indonesia memang masih amat rendah. Upaya untuk mengakomodir mereka memang ada, tapi persentasenya kecil sekali dibandingkan jumlah penyandang disabilitas yang ada di Indonesia saat ini. 

    Data terakhir jumlah penyandang disabilitas di Indonesia, adalah sebanyak 22,97 juta jiwa, sekitar 8,5 persen dari total populasi penduduk Indonesia. 

    Sedangkan di Lampung, jumlah disabilitas berdasarkan data sensus pemilih Pemilu 2024 lalu, ada sebanyak 404.580 orang atau 4,58 persen dari total jumlah penduduk Lampung, sekitar 8,85 juta jiwa. 

    Dari jumlah itu, disabilitas usia lanjut adalah yang paling dominan. Dengan segmen usia yang tak produktif itu, pemerintah idealnya harus benar-benar memperhatikan mereka, termasuk keberpihakan dalam hal anggaran. 

    Namun, kenyataan di lapangan justru berbeda. Besarnya jumlah disabilitas di Indonesia itu tak sebanding dengan porsi anggaran untuk mereka. 

    Jika awalnya pos anggaran disabilitas  yang dikelola Komisi Nasional Disabilitas (KND) ditetapkan sebesar Rp6 miliar, diciutkan dan hanya tersisa Rp3 miliar dengan alasan efisiensi. 

    Jika dihitung secara kasar, total anggaran disabilitas yang hanya Rp3 miliar itu, seandainya didistribusikan langsung untuk sebanyak 23 juta penyandang disabilitas, maka rerata tiap difabel hanya memperoleh bantuan Rp130 (perak) per tahun. 

    Angka bantuan untuk tiap difabel yang kecil itu dihitung dengan asumsi tiap kepala mendapat bantuan dari pemerintah, tanpa adanya potongan pajak dan oknum-oknum yang cari untung dari anggaran buat difabel itu, namun kenyataannya masih banyak difabel yang tak merasakan kehadiran pemerintah di tengah-tengah mereka, Sudarman salah satunya. 

    ‘Kurusnya’ anggaran disabilitas itu, terasa timpang jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang sudah benar-benar memperhatikan mereka yang minor ini. 

    Apalagi jika membandingkan anggaran disabilitas Indonesia dengan negara-negara maju, seperti Swiss, Norwegia dan Denmark, yang bahkan rata-rata memberikan tunjangan sosial kepada disabilitas tiap bulan dengan besaran ratusan Euro per orang, anggaran disabilitas Indonesia bagaikan ‘semut’ di mata mereka. 

    Bahkan, Polandia yang dianggap sebagai negara dengan alokasi anggaran difabel terkecil pun, masih berada dikisaran (euro) £212,43 perbulan per satu orang difabel, yang jika dikurskan dalam bentuk rupiah maka rerata difabel disana, bisa mendapat bantuan tunjangan sosial sekitar Rp3,8 juta per orang perbulan. Angka ini bahkan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung yang hanya Rp2,8 juta. 

    Begitu juga ketika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia pun, anggaran disabilitas yang dialokasikan pemerintah Indonesia juga jauh lebih mini. 

    Di Malaysia, dengan jumlah disabilitas sebanyak 640 ribu jiwa, pemerintahnya mengalokasikan anggaran sebesar Rp4,1 triliun, dengan asumsi rata-rata tiap disabilitas menerima tunjangan sosial sebesar 6,2 juta per orang.  

    Lucunya lagi, disaat ketimpangan anggaran yang super mini untuk ‘mereka’ yang seharusnya mendapat perhatian lebih ini, Pemprov Jawa Tengah justru mengistimewakan ormas, dengan mengalokasikan anggaran untuk dana hibah organisasi kemasyarakatan (ormas) sebesar Rp125 miliar untuk tahun 2025 ini, atau 42 kali lipat lebih besar jika dibandingkan dengan anggaran untuk penyandang disabilitas di seluruh wilayah Indonesia. 

    Sudarman yang dijelaskan perihal minimnya anggaran untuk penyandang disabilitas ini, hanya bisa terdiam. 

    “Saya itu nggak ngerti soal-soal seperti itu. Tapi yang jelas, tiap apa yang kita lakukan selama di dunia itu pasti akan ada pertanggungjawabannya di akhirat nanti,” katanya tanpa beban.