Pagi itu, langit seperti menggigil. Awan-awan kelabu tergantung lesu di langit kota, seakan ikut menampung kegundahan seorang gadis bernama Kirana. Umurnya dua puluh satu. Wajahnya manis, seperti perempuan Jawa dalam lukisan-lukisan tua yang menggambarkan kelembutan sebagai kekuatan. Rambutnya sebahu, hitam legam, dan sepasang mata yang tajam tapi sering merunduk. Hari itu, dia resmi menjadi bagian dari angka statistik: korban efisiensi ekonomi.
Setahun setengah bekerja di perusahaan advertising G, Kirana merasa dunia mendadak runtuh. Setiap pagi yang biasanya dia isi dengan menyesap kopi dan bersiap menyambut deadline, kini digantikan kebingungan. Tak ada kantor, tak ada klien, tak ada keramaian lift yang sering membuatnya sedikit canggung. Hanya keheningan kamar dan denting sendok ibunya dari dapur.
“Kamu masih muda, Kirana,” ujar bapaknya suatu malam ketika mereka makan bersama. “Pintu rezeki Tuhan itu tak hanya satu. Tugasmu sekarang adalah mencari pintu-pintu itu.”
Kirana mengangguk. Tapi hatinya beku. Ada yang tak dia mengerti dari dirinya sendiri: dia tak ingin melamar kerja lagi. Seperti tubuhnya menolak. Entah karena luka, atau karena sesuatu yang lebih halus dari itu—intuisi, mungkin.
Hari-hari berlalu. Kirana menghabiskan waktunya membantu ibunya memasak, membaca novel yang menumpuk di rak, dan berselancar di media sosial. Seminggu. Dua minggu. Sebulan. Hidup seperti air yang tak lagi mengalir, hanya menggenang.
Sampai suatu sore, saat dia membuka lemari dan mendapati koleksi totebag-nya yang tertumpuk rapi, seperti pasukan lama yang menunggu panggilan perang. Ada yang polos, ada yang bergambar lucu, ada pula yang bertuliskan merek-merek asing dengan huruf kapital. Dulu, setiap hari kerja, Kirana membawa salah satunya. Ia memang punya kebiasaan aneh: mengganti totebag setiap hari. Rekan-rekannya bahkan menjulukinya “Miss Totebag”.
Ia duduk. Memandangi satu per satu. Ada yang warnanya sudah sedikit pudar, tapi tetap cantik. Ada yang seperti baru. Ia buka totebag-totebag itu, mengelus jahitannya, memperhatikan bentuk potongannya. Rasanya seperti bertemu sahabat lama yang menyimpan kenangan diam-diam.
Lalu, ide itu muncul. Seperti cahaya yang menembus kabut. Kirana ingin membuat totebag sendiri. Tangannya bergerak cepat membuka laptop, mencari bahan kanvas di marketplace, sambil menggambar sketsa di kertas. Dunia yang sempat sunyi, kini mulai berdenting kembali.
Ia membeli beragam bahan dasar. Saat tiba, ia bawa desainnya ke tukang jahit langganan keluarga. Tak lupa, ia pergi ke konveksi kecil di pinggiran kota untuk menyablon desainnya sendiri ke atas totebag. Hasilnya? Ia tersenyum. Tidak sempurna. Tapi sangat dirinya.
Ia memotret totebag-totebag itu, memoles warnanya sedikit, dan mempostingnya di Instagram, Facebook, dan TikTok. Ia juga menyunting video proses pembuatan dari awal—dari sketsa hingga sablon. Bukan dengan ambisi menjual. Hanya ingin berbagi rasa bangga dan pencapaian kecil yang berarti.
Tapi semesta punya caranya sendiri untuk menjawab ketulusan.
Dua hari Kirana absen membuka media sosial. Ia dan ibunya pergi ke rumah duka karena salah satu kerabat dekat mereka meninggal. Di sana, kesedihan seolah menjadi jeda dari kegalauan yang lain. Ia membantu menyiapkan konsumsi, menyusun kursi, menenangkan anak-anak yang kebingungan kehilangan nenek mereka. Baru setelah pulang dan tubuhnya rebah dalam lelah, ia membuka ponsel dan tercengang.
Ratusan komentar. Puluhan pesan langsung. Orang-orang bertanya: “Ini dijual gak, Kak?” “Kalau mau beli, ke mana, ya?” “Lucu banget desainnya, aku mau dong!”
Tangannya gemetar memegang ponsel. Hatinya bergelombang seperti danau yang dilempar batu besar. Ia segera menelepon kakak perempuannya, lalu menceritakan pada ibunya, bapaknya, dan seluruh keluarganya. Semua menyemangatinya.
“Jual saja, Nak. Uangnya bisa untuk buat lagi,” kata ibunya lembut.
Dan dimulailah bab baru. Kirana menjual totebag pertamanya. Habis dalam dua hari. Lalu ia buat lagi. Habis lagi. Pesanan terus datang. Desainnya semakin variatif, kadang mengikuti permintaan, kadang dari hatinya sendiri. Ia bolak-balik ke tukang jahit dan tempat sablon. Ia bahkan mengajak tetangganya—teman sekolah dulu—untuk membantu.
Di tengah semua kesibukan itu, ia menyematkan sebuah nama di totebag buatannya: Lontara. Nama itu tiba-tiba muncul di benaknya. Ia suka bunyinya. Lembut, tapi kuat. Nama yang menyiratkan cerita, seperti huruf-huruf kuno yang dulu digunakan untuk mencatat hikmah dan sejarah.
Kini, sudah tiga bulan sejak Kirana dipecat. Ia duduk di kamar, membuka pesanan hari itu. Ada sepuluh pesan baru di Instagram. Tujuh dari Facebook. Lima di WhatsApp. Beberapa pelanggan meminta desain khusus—satu ingin gambar kucing membaca buku, satu lagi ingin ilustrasi dirinya dan suaminya. Kirana mengerjakan semua dengan cinta. Ia tahu, tiap totebag bukan sekadar tas. Tapi lembaran kecil hidup yang ia torehkan dengan tangan dan jiwanya.
Di dinding kamarnya, tergantung selembar kertas bertuliskan:
“Kadang, jalan rezeki bukan di tempat kita mencari, tapi di tempat kita mencintai.”
Ia menuliskannya sendiri, malam itu, ketika menyadari bahwa mungkin Tuhan memang tak ingin dia kembali bekerja kantoran. Mungkin Tuhan ingin dia menggambar. Menjahit. Menyablon. Menyulam cerita lewat totebag. Menyalurkan cinta ke orang-orang lewat kanvas sederhana.
Ibunya tak henti-henti memuji totebag hasil karyanya. Ayahnya sering menyelipkan cerita tentang bisnis Kirana ke rekan kantornya. Kedua kakaknya membantu promosi. Dan Kirana, dari gadis yang gusar dan patah arah, kini menjadi pengusaha kecil dengan langkah mantap dan hati yang penuh syukur.
Kadang, di malam yang sunyi, ia membuka totebag pertamanya. Yang pertama ia gambar. Pertama ia sablon. Ia simpan untuk kenang-kenangan. Di sudutnya, ada noda tinta kecil. Ia tersenyum. Noda itu saksi. Bahwa dari luka, bisa lahir karya. Dari kehilangan, bisa tumbuh harapan.
“Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan,” bisik Kirana dalam hati.
Dan di luar kamar, malam semakin larut. Tapi di dalam dirinya, fajar baru sedang menyingsing.(*)