Tag: phk


  • Angkatan kerja di Indonesia kini, cenderung menuju ke pengangguran struktural. Perubahan teknologi, perubahan industri dan globalisasi yang diselimuti lesunya perekonomian adalah indikatornya. Akibatnya, jumlah kaum rebahan makin menumpuk dan terus mencari apologi. 

    (Lontar.co): Usia Rani sudah di ujung muda, 25 tahun. Hanya sisa dua atau tiga tahun lagi, ia bakal terganjal batas maksimal syarat jamak kebanyakan perusahaan untuk calon pelamar kerja. 

    Bekal S2 kependidikan yang baru berapa bulan ia sandang juga tak membantu banyak.  

    Ada puluhan sekolah swasta yang sudah ia lamar, tapi masih nihil. Latar orang tuanya yang abdi negara juga tak membantu. Koneksi orang dalam juga sama saja. Semua sedang lesu. 

    Sementara untuk melamar menjadi sales, rasanya seperti sia-sia. Kuliah hanya selisih satu tingkat mendekati doktoral tapi kerja jadi sales itu, terasa seperti anomali. 

    Endingnya antiklimaks. Ia memilih menikah, menjadi ibu rumah tangga. Gelar kesarjanaannya yang tinggi selesai saat itu juga. 

    “Sambilannya jualan online. Jualan baju sama jualan ikan nila ranau, kebetulan di rumah punya kolam penampungan ikan,” kata Rani yang kini tengah mengandung anak pertama. 

    Rani menjadi salah satu bagian dari sebanyak 5 juta orang lebih angkatan kerja di Lampung yang dilanda ketidakpastian akan masa depan lapangan pekerjaan. 

    Survei Angkatan Kerja Lampung pada Februari 2025 kemarin, menyebut jumlah angkatan kerja tahun 2025 bertambah sebanyak 41.830 orang selama periode Februari 2024 ke Februari 2025, dengan total jumlah angkatan kerja di Lampung sebanyak 5.085.000 orang. 

    Sedangkan jumlah pengangguran di Lampung per Agustus 2024 juga bertambah hingga total menjadi 209,16 ribu orang, atau bertambah sebanyak 1,92 ribu orang dibandingkan Agustus 2023. 

    Itu semua data dari BPS Lampung. Bisa jadi, angkanya lebih dari itu, apalagi di daerah-daerah pelosok pedesaan, yang terdampak secara langsung terhadap minimnya lapangan kerja. 

    Angkatan kerja di desa tak bisa menikmati akses lapangan kerja secara langsung, berbeda dengan di kota. Jika memaksa bersaing mencari kerja, mereka bakal berhadapan dengan kelompok angkatan kerja dengan tingkat pendidikan minimal lulusan SMA, S1 bahkan S2, seperti Rani. 

    Sementara, umumnya tingkat kelulusan angkatan kerja di desa rata-rata adalah SMP, sangat jarang SMA. 

    Pada akhirnya, mereka—angkatan kerja dari desa ini, tersisih dari pekerjaan-pekerjaan formal, dan lebih banyak di informal. Sektor ini, cenderung tak memiliki jaminan kerja, jaminan sosial dengan upah yang jauh dari memadai. 

    Data ini makin diperkuat dengan hasil statistik angkatan kerja dari BPS tahun 2024 yang menyebut status pekerjaan utama penduduk di Lampung didominasi oleh pekerjaan di sektor informal yang jumlah pekerjanya ada sebanyak 3,31 juta orang atau 69,14 persen, sedangkan pekerja formal sebanyak 1,47 juta orang atau 30,86 persen dari total jumlah penduduk Lampung yang telah bekerja. 

    Sedangkan jenis pekerjaan informal yang paling banyak di Lampung adalah buruh, pekerja harian dan sedikit karyawan. Dengan dominasi latar belakang pendidikan, yakni tamatan sekolah dasar, sebanyak 35,53 persen, 

    Yang menarik, adanya jumlah pekerja sektor informal di Lampung yang memiliki latar belakang pendidikan diploma; S1, S2 hingga S3 yang jumlahnya mencapai 9,33 persen. 

    Dari angka lulusan diploma hingga strata yang ‘terpaksa’ bekerja di sektor-sektor informal ini, menjadi indikator serius bahwa lapangan pekerjaan kini memang amat sulit. 

    Para sarjana ini pada akhirnya juga, harus bersaing dengan lulusan-lulusan sekolah menengah atas untuk bisa bekerja meski hanya di sektor informal.  

    Mereka bersaing dalam banyak hal; pengalaman hingga usia. Belum lagi, adanya kecenderungan faktor ‘orang dalam’ yang acap kali menjadi paling dominan dalam hal kesempatan kerja. 

    Kondisi makin kompleks mana kala bicara soal keahlian.  

    Saat ini, kebanyakan lulusan sarjana yang masuk dalam angkatan kerja adalah sarjana-sarjana yang memiliki gelar kesarjanaan berbasis keilmuan atau yang fokus pada pengembangan pengetahuan dan teori, seperti; sarjana ekonomi dan sarjana hukum, adalah gelar-gelar kesarjanaan yang faktanya ‘tak laku’ dipakai untuk dunia kerja saat ini.  

    Dunia kerja saat ini lebih condong merekrut calon pekerja yang memiliki gelar kesarjanaan berbasis keahlian atau sarjana terapan, terlepas dari faktor orang dalam. 

    Ketimpangan antara jumlah angkatan kerja dengan ketersediaan lapangan kerja ini pula, masih harus bertumpuk dengan angka pengangguran yang terus membengkak, apalagi di tahun 2025 ini. 

    Seiring melesunya perekonomian, badai PHK juga terjadi dimana-mana, meski angka jumlah PHK tahun 2025 belum bisa digambarkan secara utuh.  

    Selain lemahnya daya beli, program efisiensi yang didengungkan pemerintah juga menimbulkan efek pemutusan hubungan kerja. 

    Data Kementerian Ketenagakerjaan sejak Januari hingga Mei 2025, tercatat angka pekerja yang terkena PHK di seluruh Indonesia sebanyak 26.455 kasus. 

    Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemnaker Indah Anggoro Putri menyebut adanya kecenderungan peningkatan kasus PHK dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. 

    Namun, angka PHK massal yang dilaporkan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) jauh lebih mencengangkan lagi dan berbeda jauh dengan data kasus PHK dari Kementerian Ketenagakerjaan. 

    Apindo melaporkan dalam rentang waktu 1 Januari hingga 10 Maret 2025, tercatat sebanyak 73.992 kasus PHK massal. Angka ini merujuk pada jumlah kepesertaan di BPJS Ketenagakerjaan pada periode itu. 

    Sementara di Lampung, kasus PHK juga terjadi dibeberapa daerah yang menjadi sentra-sentra kawasan industri.  

    Merujuk Satudata Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang 2024, jumlah pekerja yang terkena PHK di Lampung mencapai 143 orang.  

    Angka ini belum ditambah dengan sebanyak 233 Petugas Pintu Air (PPA) yang terpaksa diberhentikan karena alasan efisiensi dari pemerintah pusat.  

    Apalagi, data-data kasus PHK di Lampung ini masih data tahun sebelumnya, sedangkan tahun 2025 belum bisa diakumulasikan, padahal terhitung sejak Januari-Mei 2025, ada begitu banyak kasus PHK yang terjadi seiring makin lesunya perekonomian. 

    Sektor-sektor ritel yang menjadi penyerap tenaga kerja terbesar kedua setelah industri, yang paling merasakan imbasnya, banyak raksasa-raksasa ritel yang akhirnya menutup gerainya. 

    Transmart misalnya, sejak tahun 2024 lalu sudah ‘mati suri’. Komplek pusat perbelanjaan yang ada di Jalan Sultan Agung, Way Halim itu kini terlihat sepi. 

    Di supermarketnya, jumlah pengunjung bisa dihitung dengan jari, demikian pula di gerai-gerai pakaiannya, tak terlihat satu pun pembeli. Sedangkan gerai-gerai kuliner yang dulu ramai, kini sepi, beberapa gerai bahkan sudah tutup sejak beberapa bulan lalu. 

    Sepinya pembeli di Transmart ini juga secara tidak langsung berimbas pada pengurangan jumlah pekerja di mall ini. 

    Tahun 2025 memang layaknya kiamat buat para pencari kerja.  

    Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani menyebut adanya ketidakseimbangan antara pasar kerja dengan jumlah angkatan kerja yang terus bertambah tiap tahunnya. 

    Rata-rata ada 2 juta hingga 3 juta angkatan kerja baru yang terus menambah jumlah angkatan kerja tahun-tahun sebelumnya hingga angka angkatan kerja terus bertambah, yang kini sudah menembus angka 149 juta angkatan kerja. 

    “Ketimpangan terlihat, karena daya serap lapangan kerja kurang dari 1 persen dari jumlah angkatan kerja, disisi lain jumlah angkatan kerja tiap tahun terus bertambah,” kata Shinta. 

    Pakar ekonomi makro dan mikro dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS),  Agung Riyardi menyebut ada banyak faktor yang memicu terjadinya gelombang PHK massal di tahun 2025. 

    Di faktor internal, misalnya; kerugian perusahaan, efisiensi operasional hingga keuangan yang pailit menjadi penyebab utama. 

    Sedangkan, faktor eksternalnya adalah; perlambatan ekonomi nasional, dampak perang dagang secara global, hingga kesalahan kebijakan adalah faktor-faktor penyumbang yang paling besar penyebab terjadinya PHK. 

    Agung Riyardi melihat bahwa pemerintah Indonesia belum mampu membangun lingkungan bisnis yang solid dan prediktif, sehingga pihak swasta mencari caranya sendiri untuk bertahan, salah satunya adalah melakukan PHK massal. 

    Di saat badai PHK menghantam, pemerintah juga terkesan bungkam, padahal idealnya negara memberi solusi, selain dengan menjaga ekosistem ketenagakerjaan serta iklim usaha yang sehat, serta memberangus beragam pungutan liar, agar swasta mau berinvestasi dengan aman dan nyaman. 

    Menggunungnya angka angkatan kerja yang berbaur dengan pengangguran serta mereka yang terdampak oleh PHK massal ini juga masih dihantui oleh ancaman kemajuan teknologi yang kian beringas menghantam dunia kerja,  

    Pekerjaan-pekerjaan yang dulu masih dilakukan oleh manusia mulai mengalami otomatisasi. 

    Jenis-jenis pekerjaan yang dulu menjadi incaran banyak orang, seperti; staf administrasi, teller bank, kasir, customer service, pekerja manufaktur hingga desainer grafis ikut terdampak secara langsung. 

    Sementara jenis pekerjaan lainnya hanya tinggal menunggu waktunya saja. 

    Beragam kronik yang kemudian menggumpal itu, kini menjadi apologi buat kaum rebahan, sembari menyongsong pengangguran struktural yang sudah di ujung mata.