Kebanyakan dari kita tentu masih ingat peribahasa lawas yang bilang “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Ungkapan itu kiranya bisa menjelaskan kenapa ketertarikan pelajar di Lampung terhadap literasi masih sangat minim.
(Lontar.co): Beranjak dari pemahaman itu Pemred Club, himpunan pemimpin redaksi dari beberapa media, mengajukan program literasi digital untuk warga sekolah SMAN/SMKN pada 15 kabupaten/kota di Lampung. Gayung bersambut, Thomas Amirico, nakhoda baru pada Dinas Pendidikan Provinsi Lampung merespon positif.
“Kita memang butuh keterlibatan banyak pihak untuk menghidupkan literasi di sekolah. Benar, Indek Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Lampung masih rendah. Kita akui itu. Justru dengan menerima fakta ini kita jadi muncul kesadaran untuk membenahinya. Tentu harus ada upaya konkrit untuk mengawali perubahan,” kata Thomas saat menerima perwakilan Pemred Club di kantornya, belum lama ini.
Tak berhenti sebatas wacana, diskusi ringan itu langsung ditindaklanjuti. Pada Selasa, 27 Mei 2025, program literasi digital di sekolah akan disosialisasikan. Sebagai langkah awal program ditujukan pada SMAN/SMKN yang berada di Kabupaten Tulangbawang Barat dan Lampung Tengah.
Pada kedua kabupaten ini terdapat 53 SMAN/SMKN yang akan mengirimkan perwakilannya untuk diajak membicarakan formulasi pelatihan yang merujuk pada penumbuhan minat literasi digital. “Kami memandang perlu ngajak ngobrol para kepala sekolah dan guru bahasa Indonesia. Sebab mereka pengambil dan pelaksana kebijakan di tiap sekolah. Kami akan ajak mereka sharing seputar seberapa penting literasi menurut mereka,” terang Herman Batin Mangku, koordinator Pemred Club.
Kalau, imbuh lelaki yang akrab disapa HBM ini, hasil obrolan itu nantinya memiliki kesepahaman yang sama bahwa literasi penting dikembangkan di lingkungan sekolah, baru dibahas terkait konsep program dan teknis pelaksanaannya.
Selain selaku pengambil kebijakan dan pelaksana, masih menurut HBM, pelibatan kepala sekolah dan guru Bahasa Indonesia menjadi sasaran utama sosialisasi karena pepatah telah mengingatkan. “Ikan busuk mulai dari kepala. Sebaliknya juga, pemikiran segar untuk membawa perubahan paradigma juga perlu diawali dari kepala, dalam hal ini kepala sekolah,” ucapnya setengah kelakar.
Pandangan ini kiranya cukup beralasan. Mengingat tidak sedikit regulasi dan kegiatan bernuansa literasi di Provinsi Lampung namun realitasnya masih banyak yang berhenti sebatas wacana. Kalau pun ada kegiatan yang sempat dijalankan, sifatnya masih parsial. Belum menyeluruh apalagi saling bersinergi dan berkesinambungan untuk membuat perubahan secara signifikan.
Soal regulasi terkait literasi jauh-jauh hari sudah ada payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Lampung Nomor 17 Tahun 2019 tentang Peningkatan Budaya Literasi. Tapi apa iya implementasinya sudah berlangsung? Lalu ada pula satuan tugas Gerakan Literasi Sekolah atau dikenal Satgas GLS. Tentunya tanpa mengecilkan perannya, kiranya gerakan ini bisa lebih dimasifkan lagi untuk mewujudkan perubahan atmosfer literasi di lingkungan sekolah.
Mengapa perlu penanganan secara menyeluruh dan berkesinambungan? Sebab kondisi di lapangan yang sedang tidak baik-baik saja, kalau kita tidak ingin menyebut kenyataannya cukup memalukan.
Data Perpustakaan Nasional (Perpusnas) tahun 2023 menunjukkan skor tingkat kegemaran membaca (TGM) di Provinsi Lampung 66,38 poin. Secara nasional skor literasi Lampung disebut berada pada urutan 18 dari 34 provinsi.
Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional, Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Lampung pada tahun 2024 menunjukkan angka 64,8100. Pencapaian terbesar diperoleh Sulawesi Selatan dengan poin 88,2400. Sebagai pembanding skor dengan provinsi terdekat Lampung ialah Bengkulu dengan skor 65,960, lalu Jambi memperoleh skor 65,430.
Pada akhirnya perubahan yang diupayakan memang mestinya melalui proses bertahap. Bukan memakai paradigma lama yang kerap terjebak pada seremonial. Bukan pula kegiatan ala-ala yang puas hanya mengedepankan kegiatan simbolis, lantaran enggan menjalani komitmen yang berkesinambungan. Sebab bukankah telah sama-sama diketahui perubahan hakiki tidak pernah dicapai secara instan. (*)