Tag: pedagang buku ramayana


  • Pedagang buku Ramayana tak punya pilihan kedua, kecuali bertahan. Perkembangan zaman membuat mereka nyaris digilas oleh waktu. Sekedar bertahan untuk menghabiskan sisa buku yang ada, dan menambal tekanan kebutuhan yang terus menghimpit. 

    (Lontar.co)–Duduk di sudut rak buku tokonya yang panas, mata Basri (50) hampir tak sanggup menahan kantuk. Suara bising kipas angin reot yang digantung di dinding toko, tak lantas membuat matanya tetap awas menanti pembeli. 

    Sejak pagi hingga hampir sore ini, tak ada satu pun buku laku terjual. Jangankan dibeli, sekedar dihampiri calon pembeli pun tidak. 

    Selepas Dzuhur, bekal nasi berlauk tempe sudah habis tak tersisa, pun dengan gelas kaleng kopinya yang sudah tersisa ampasnya saja lagi. 

    Sesekali jika ada pengunjung yang melintas, suara serak Basri akan dibuat sehalus mungkin untuk menawarkan buku jualannya, kadang berhasil, tapi kebanyakan tidak. 

    Menunggu satu pembeli mampir ke tokonya, bagi Basri ibarat mencari jarum dalam jerami. 

    Terkadang, untuk mengusir jenuh, sesekali ia menyambangi rekannya sesama pedagang buku di kolong Ramayana, sekedar mengobrol sebentar, kemudian kembali lagi ke tokonya yang sepi. 

    “Sudah dari dulu sepi seperti ini. Tapi, mau gimana lagi, dari sini kami hidup,” ujarnya pelan. 

    Tiap hari, ia dan pedagang buku lainnya di kolong Ramayana hanya bisa berharap buku mereka laku, meski hanya satu. 

    “Dapat satu pembeli saja, rasanya sudah seneng banget”. 

    Basri dan tujuh pedagang buku di kolong Ramayana yang ada saat ini, adalah ‘sisa-sisa’ dari kejayaan pedagang buku di kolong Ramayana. 

    Mereka kini hanya bisa bertahan melawan waktu dan zaman, entah sampai kapan. 

    Kebanyakan pedagang buku lainnya bahkan sudah menyerah kalah sejak beberapa tahun lalu. 

    Ada yang beralih menjadi pedagang cakram VCD, meski pada akhirnya gulung tikar. Sementara yang lainnya, beralih menjadi pedagang makanan dengan modal yang tersisa. 

    “Dulu ada lebih dari 20 pedagang buku disini. Ada yang menyewa toko seperti saya, ada juga yang menyewa los-los kecil,” terangnya. 

    Sebagian besar pedagang buku itu masih berkerabat satu sama lain. Termasuk adik dan sepupu Basri pun pernah ikut berjualan buku di sini, tapi kemudian memilih berhenti seiring semakin sepinya penjualan buku. 

    “Dari dulu sampai sekarang, antarpedagang itu kerjasama. Kalau kita tak punya buku yang dicari pembeli, kita bisa cari ke pedagang lain, kalau laku, keuntungannya dibagi dua. Makanya, dulu banyak pedagang di sini yang masih ada hubungan saudara. Adik dan sepupu saya saja pernah ikut berjualan di sini, tapi sekarang sudah tutup”. 

    Basri juga masih terhitung keponakan dari Rosidin, orang yang ia sebut sebagai pedagang buku pertama kali, bahkan jauh sebelum Ramayana berdiri tahun 1995. 

    “Itu jualannya juga gak sengaja, karena dia (Rosidin) kan dagang asongan di Stasiun Tanjungkarang, dia nemu tumpukan buku di kotak sampah stasiun,” cerita Basri. 

    Rosidin kemudian menjual buku-buku temuannya itu di emperan komplek stasiun, ternyata buku yang ia temukan di kotak sampah itu laku dibeli orang. 

    Sejak itu, Rosidin perlahan mulai beralih dari pedagang asongan, jadi pedagang buku bekas. Tempatnya berjualan pun masih darurat, hanya mengandalkan terpal yang menghampar di tepian jalan menuju stasiun, untuk menggelar buku-buku jualannya. 

    Rosidin bukan hanya berjualan buku, tapi juga membeli buku-buku bekas,”saya ingat dulu, harga buku bekas yang fisiknya masih bagus itu cuma tiga ribu perak. Uang tiga ribu tahun 95 dulu, sudah bisa beli beras dua kilo,” kata Basri lagi. 

    Perlahan, pembeli mulai ramai. Kebanyakan adalah orang tua yang mencari buku pelajaran untuk anak-anaknya. 

    “Dulu kan ekonomi memang masih sulit, jadi daripada beli buku baru, mending beli buku bekas, isinya juga sama saja”. 

    Pedagang buku bekas yang semula hanya Rosidin seorang, mulai bertambah menjadi tiga, lima hingga 10 pedagang, karena pembeli yang ramai. 

    “Pak Rosidin itu dulu punya buku khusus untuk mencatat buku pesanan yang dicari pembeli,” ujar Basri sembari terus mengingat. 

    Tingginya animo pembeli bahkan membuat Rosidin memiliki akses ke sejumlah penerbit mayor. Ia bahkan bisa mengatur akses distribusi buku, khususnya buku pelajaran, yang akan dijual di Bandarlampung. 

    “Pokoknya seperti mafia lah. Pak Rosidin itu dulu bahkan bersaingnya sama toko buku di Bambu Kuning. Dia mau giring pelanggan buku di Bambu Kuning untuk beralih ke tempatnya. Pernah pula, dia melobi penerbit untuk menjual buku-buku yang tak laku di gudang penerbit ke lapaknya, jumlahnya sampai ribuan judul buku,” kenang Basri. 

    Rosidin dan pedagang buku lainnya kala itu memang langsung mendominasi, seiring dengan mulai terbentuknya pasar buku bekas di kawasan itu.  

    Mereka bahkan berani bersaing harga dengan toko-toko buku yang sudah lebih dulu ada, termasuk ‘membajak’ buku-buku pelajaran wajib di sekolah, dari penerbit langsung ke lapak mereka, agar tak bisa dijual oleh pedagang buku di daerah lain. 

    Konsumennya bukan hanya warga Bandar Lampung saja, tapi hingga ke Pringsewu dan Lamsel, bahkan mereka ikut pula mensuplai buku ke pedagang buku di Bandarjaya hingga Kotabumi. Mereka dikenal sebagai pedagang buku serba ada. Mau judul dan penerbit apapun yang dibutuhkan, mereka ada. 

    “Toko-toko buku di Bandarjaya dan Kotabumi dulu ambil bukunya disini, karena harganya selisih dikit dengan penerbit langsung,” papar Basri. 

    Kejayaan para pedagang buku di sekitar Stasiun Tanjungkarang ini sempat terhenti, manakala proyek pembangunan Ramayana Tanjungkarang dimulai. Semua lapak-lapak liar para pedagang, termasuk lapak para pedagang buku ditertibkan. 

    Mereka direlokasi, di tempat-tempat darurat, bangunan non permanen berdinding papan-papan kayu.  

    Tapi kala itu, pedagang buku di Stasiun Tanjungkarang ini sudah terlanjur tersohor sebagai saudagar kaya. Mereka bahkan disandingkan dengan pedagang-pedagang baju besar yang ada di Bambu Kuning, karena omzetnya yang tinggi. 

    Mereka tak lagi bersaing dengan toko-toko buku biasa, melainkan dengan toko-toko buku gurita semacam Gramedia dan Fajar Agung. 

    Karenanya, ketika Plaza Ramayana resmi berdiri, mereka tak ragu menempati toko-toko di lantai dasar plaza itu.  

    Padahal, di tahun 1995, Plaza Ramayana menjadi salah satu plaza dengan biaya sewa yang mahal buat para pedagang, apalagi bangunannya terbilang baru, megah dan mewah buat ukuran departement store pertengahan tahun 90-an. Karena saat itu, plaza di Bandar Lampung masih bisa dihitung dengan jari. 

    Plaza Ramayana juga menggeser dominasi Plaza Artomoro dan Chandra. Karenanya, siapapun pedagang yang menempati komplek Ramayana menjadi sebuah simbol prestise, tak terkecuali pedagang buku rombongan Rosidin. 

    Selain karena mampu menyewa toko di Ramayana, Rosidin dan pedagang lainnya juga ingin tetap menjaga pasar yang sudah terbentuk sebelumnya. Karena kala itu, pembeli sudah kadung mengenal tempat itu sebagai surga buku murah 

    Berdirinya Ramayana juga menjadi penanda kehadiran pedagang-pedagang buku generasi kedua yang mulai berdatangan. Tapi, umumnya mereka masih memiliki hubungan kekerabatan, termasuk sejumlah kerabat Rosidin pun ikut mencoba peruntungan dari gurihnya bisnis buku bekas. 

    Kejayaan pedagang buku di Ramayana terus berlangsung hingga puluhan tahun lamanya. 

    Gurita bisnis pedagang buku juga terus bertambah. Rosidin misalnya, memiliki hingga empat toko buku di Ramayana, meski letaknya saling berjauhan. Tiap toko, dikelola oleh kerabatnya, termasuk salah satunya adalah Basri, keponakannya. 

    Lima belas tahun berlalu, bisnis buku perlahan mulai meredup seiring zaman yang terus berubah, teknologi menggerus kebutuhan baca termasuk buku pelajaran, yang omzetnya mulai berkurang. 

    Rosidin dan kawan-kawannya tergagap. Mereka seperti tak siap dengan perubahan yang dinamis itu. 

    “Tahun 2010-an itulah mulai turun, sedikit-sedikit orderan mulai berkurang, pembeli juga cuma satu dua orang, hanya ramai kalau tahun ajaran baru saja, setelah itu sepi lagi,” cerita Basri. 

    Toko-toko buku rekanan di luar daerah juga mulai mengeluhkan hal yang sama, beberapa ada yang mulai menutup tokonya. 

    Tak sedikit pula pedagang-pedagang buku yang gelagapan karena sudah terlanjur inkaso ke penerbit-penerbit besar. Mereka gelagapan menutup hutang-hutangnya. 

    Bon-bon hutang pedagang buku itu kebanyakan muncul dari tagihan buku kuliah yang harganya lumayan mahal. Bayangkan, untuk satu judul buku kuliah dengan jumlah eksemplar kurang dari 100, pedagang harus menebusnya hingga puluhan juta. Hutang ini baru dari satu penerbit, belum lagi biaya operasional toko yang tinggi membuat pedagang gelagapan. 

    Perlahan, satu persatu pedagang tumbang. Ada yang beralih menjadi pedagang cakram VCD masih di lorong-lorong Ramayana, sementara yang lainnya merintis bisnis warung makan. 

    Sampai kini, tiga puluh tahun kemudian, jumlah pedagang yang bertahan bisa dihitung dengan jari, itupun mereka tak yakin, tahun depan masih tetap akan berjualan lagi atau tidak. 

    “Sekarang, cuma ngabisin stok yang masih ada aja. Karena, jangankan cukup buat bayar sewa toko, buat makan aja kadang kurang”. 

    Selama kurang dari empat bulan lagi, Basri dan pedagang lainnya hanya bisa menunggu dan terus menunggu, di lorong Ramayana yang gelap, sempit dan pengap itu, sembari perlahan melepas kenangan kejayaan masa lampau.