Tag: pasar modern pasir gintung

  • pasir gintung

    Kurang dari setahun pascadiresmikan oleh Jokowi, Pasar Pasir Gintung bukannya semakin ramai tapi justru kian sepi. Ekonomi yang lesu jadi kambing hitamnya, padahal perencanaan pembangunan yang kurang memperhatikan banyak aspek membuat puluhan miliar dana pembangunan pasar, jadi terasa mubazir. 

    (Lontar.co): Sejak subuh tadi, Lastri lebih banyak melamun seperti biasa di lapak sayurannya. Untuk mengusir jenuh, sesekali ia menyambangi lapak lain, sekedar mengobrol, terkadang ia bahkan sampai tertidur. 

    Aktivitas seperti ini sudah ia lakukan sejak berbulan-bulan lalu, terhitung sejak ia pindah ke Pasar Pasir Gintung, yang belum lama diresmikan oleh Jokowi tahun 2024 lalu. 

    Sejak pindah ke pasar ini, dagangannya lebih banyak ia bawa pulang ke rumah karena tak laku, ada juga yang terpaksa ia konsumsi sendiri,”kalau nggak gitu, dagangan pada layu, ruginya dobel-dobel jadinya,” ujarnya. 

    Ia tak mengira, nasibnya bakal seapes ini setelah pindah ke Pasar Modern Pasir Gintung,”nggak penting modern pasarnya, sik penting kuwi enek sing tuku. Ini jangankan ada yang beli, laler wae wegah melebu rene,” sungutnya. 

    Ia bahkan membandingkan masa ketika ia masih berjualan di tepian Jalan Imam Bonjol yang menurutnya jauh lebih laris daripada di Pasar Modern Pasir Gintung. 

    “Masih mending dulu, sebelum dagang disini, saya jualan di pinggir jalan sana, sehari bisa bawa pulang Rp300 ribuan, itu sudah termasuk sepi. Lha disini, bukannya tambah rame, malah nggak ada yang beli,” keluhnya. 

    Memang ia hanya dibebankan uang salar dan kebersihan, tapi yang membuatnya tertarik pindah ke Pasar Modern Pasir Gintung ini adalah, janji pemerintah bahwa seluruh pedagang akan direlokasi ke pasar itu, tapi kenyataannya, malah seperti ini. 

    “Sebenarnya saya sudah pingin pindah dari kemarin-kemarin, tapi mau gimana lagi, mau balik ke pinggir jalan, sudah susah cari tempatnya, tapi kalau terus dagang disini malah nggak jelas kayak gini”. 

    Selain Lastri, Sodikin pedagang lainnya bahkan sudah ancang-ancang mau pindah dari pasar itu ke lapak yang sudah ia sewa di tepian Jalan Pisang yang ada di sisi kiri Pasar Pasir Gintung. 

    “Kita dagang ini mau cari untung, bukannya mau rugi. Kalau sepi terus seperti ini, ngapain maksa tetap jualan disini,” katanya kesal. 

    Sebagian besar pedagang yang sudah terlanjur pindah ke Pasar Modern Pasir Gintung juga mengeluhkan hal yang sama. 

    Menurut mereka, modal yang sudah terlalu besar mereka keluarkan setiap harinya tak sebanding dengan penghasilan yang mereka peroleh. 

    “Masak sehari yang beli cuma satu dua orang, ini pasar apa kuburan?,” tutur pedagang lainnya. 

    Bahkan, hari raya Idul Fitri beberapa bulan lalu yang diharapkan bisa membantu menambal kerugian para pedagang, hasilnya juga tak memadai. 

    Pedagang-pedagang ikan yang semula direlokasi ke pasar ini pun ramai-ramai pindah ke lapak semula di sekitar Jalan Pisang. 

    Demikian pula kebanyakan pedagang sayuran dan buah-buahan, yang sempat beberapa bulan menjajal peruntungan di Pasar Modern Pasir Gintung,”sebulan coba dagang disana, terasa benar sepinya, langsung pindah lagi kesini,” kata Siti yang kini kembali berjualan di tepian Jalan Imam Bonjol. 

    “Bayar salar Rp20 ribu sehari, yang beli cuma satu orang itu juga cuma beli ala kadarnya, bukannya untung malah nombok”. 

    Pasar Modern Pasir Gintung dibangun di atas lahan 2.201 meter dengan total luas bangunan mencapai 3.366 meter. 

    Terdapat sebanyak 349 unit kios yang terdiri dari 275 los kering, 55 los basah dan 19 kios kecil. 

    Pasar yang proses pembangunannya memakan waktu selama tujuh bulan, terhitung mulai dari Desember 2023 hingga Juli 2024 itu, menghabiskan anggaran hingga Rp38 miliar lebih, yang pendanaannya bersumber dari APBN. 

    “Ini bukan uang yang kecil,” kata Jokowi saat meresmikan Pasar Modern Pasir Gintung. 

    Sebelumnya, dalam proses relokasi yang berlangsung September 2023 lalu, sebanyak 350 pedagang tak memberi reaksi apapun, karena Pemkot Bandarlampung seolah membuai mereka dengan rencana-rencana yang dianggap bisa membuat pedagang lebih sejahtera. 

    “Apalagi waktu itu katanya pasar ini mau diresmiin Pak Jokowi langsung, terus semua pedagang wajib pindah ke sini, jadi pedagang pada yakin kalau pasar yang bakal dibangun bakal banyak pembelinya, tapi kenyataannya malah seperti ini,” kata Lastri lagi. 

    Kini, sebagian besar pedagang yang sempat direlokasi ke Pasar Smep kemudian pascarevitalisasi dipindahkan ke Pasar Modern Pasir Gintung, justru kembali lagi berjualan di bahu Jalan Imam Bonjol dan Jalan Pisang. 

    pasir gintung
    Sebagian besar pedagang yang sempat berjualan di Pasar Modern Pasir Gintung kembali berjualan di bahu jalan. Foto: Meza Swastika

    Posko pemantauan yang dijanjikan akan dibuat untuk mengantisipasi agar pedagang tak kembali berjualan di bahu jalan pun tak ada sama sekali. 

    Alhasil, ketimpangan pun terjadi. Pedagang yang masih bertahan di Pasar Modern Pasir Gintung tak pernah merasakan kehadiran pembeli, sementara pedagang yang kembali berjualan di bahu jalan lebih diminati oleh pembeli. 

    Di pagi hari, ruas Jalan Imam Bonjol yang dipenuhi oleh pedagang di sisi kanan dan kiri jalan juga menjadi salah satu penyebab kemacetan panjang yang selalu terjadi. 

    Alasan pemerintah yang menyebut situasi perekonomian yang tengah lesu, jelas ditampik oleh Lastri. 

    “Sekarang kalau katanya ekonomi lagi lesu, lah terus itu orang-orang yang datang tiap pagi di pinggir jalan itu mau ngapain? Nongkrong?, kan nggak. Mereka itu pembeli yang memang setiap hari belanja di sana. Jadi, kalau alasan Pasar Modern Pasir Gintung ini sepi karena ekonomi lagi lesu itu nggak masuk akal banget. Sekarang gini lho mas, yang dijual di Pasar Gintung ini kan kebutuhan pokok, lah masak orang nggak ada yang makan, kalaupun ekonomi lagi lesu, yang namanya manusia ya tetep butuh makan tho!”. 

    Pendapat Lastri memang tak sepenuhnya salah, di tengah perekonomian yang tengah mengalami perlambatan seperti saat ini, daya beli memang cenderung menurun. Namun, urusan pangan mutlak menjadi kebutuhan utama, terlepas dari ekonomi yang sedang lesu. 

    Jika merujuk pada data BPS Lampung, terjadi pertumbuhan inflasi di Provinsi Lampung hingga 2,2 persen pada Mei 2025. 

    Naiknya inflasi ini berdasarkan indeks harga konsumen di bulan yang sama pada tahun 2025 dan indeks harga konsumen tahun 2024. 

    Namun, menurut BPS, jika dibandingkan pada bulan April 2025, inflasi di bulan Mei jauh lebih rendah. 

    Kelompok makanan dan minuman menyumbang inflasi tertinggi bulan Mei 2025. Selanjutnya, beras dan emas juga ikut menyumbang inflasi hingga 0,33 persen. 

    Sedangkan jenis komoditas penyumbang deflasi di Lampung, masih di dominasi oleh kelompok sayuran (bawang merah dan tomat) serta telur dan daging ayam. 

    Namun jika diakumulasi secara keseluruhan, Lampung mengalami deflasi sebesar 0,58 persen di Mei 2025 ini. 

    Deflasi yang terjadi di Lampung juga turut andil menyumbang angka deflasi nasional pada bulan Mei 2025 yang mencapai 0,37 persen. 

    Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam keterangan persnya membantah jika deflasi yang terjadi saat ini menjadi pemicu melemahnya daya beli. 

    Sri Mulyani beralasan, deflasi terjadi karena pemerintah mengatur distribusi harga komoditas dan jasa  agar lebih stabil termasuk diskon layanan transportasi,”jadi bukan karena daya beli menurun,” kata Sri Mulyani di Istana Kepresidenan (2/6/2025). 

    Intervensi pemerintah dalam mengatur harga komoditas juga bakal memicu deflasi, apalagi sejumlah harga bahan pokok cenderung fluktuatif. 

    Secara karakter, terjadinya deflasi dan inflasi terhadap sejumlah bahan pokok di Lampung memiliki kesamaan secara indeks nasional. 

    Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini bahkan menyebut inflasi Mei 2025 punya kecenderungan lebih dalam dibanding bulan yang sama tahun 2024. 

    Faktanya, selain ekonomi yang lesu, yang disebut memicu rendahnya daya beli masyarakat hingga berimbas ke sepinya pembeli di Pasar Modern Pasir Gintung, ada hal lain yang selama ini luput menjadi kajian Pemkot Bandarlampung. 

    Dalam hal perencanaan revitalisasi pasar, pemerintah kota cenderung mubazir, lihat saja Pasar Bambu Kuning dan Pasar SMEP. Dua pasar ini sudah direvitalisasi semodern mungkin namun tetap saja tak diminati pedagang, pembeli pun enggan berbelanja disana. 

    Pedagang hanya mampu bertahan hitungan bulan pascarevitalisasi, selebihnya, mereka kembali ke ‘habitat’ semula, berjualan di bahu-bahu jalan. 

    Dan, Pemkot Bandarlampung terus mengulang kesalahan yang sama. Ada kesan, proses revitalisasi pasar dilakukan semaunya saja, dan satu hal yang unik adalah, proses revitalisasi justru dilakukan mendekati tahun-tahun politik, seperti pilkada dan pemilu. 

    Tak hanya itu, Pemkot Bandarlampung juga dianggap gagal membangun citranya sebagai regulator yang idealnya mengawasi proses terhadap apa yang sudah mereka bangun. 

    Dalam kasus Pasar Modern Pasir Gintung yang sepi ini, sebelumnya pemkot melalui Wakil Walikota Bandarlampung, Dedi Amrullah berjanji akan membangun posko pengawasan untuk mengantisipasi pedagang yang kembali berjualan di bahu jalan, kenyataannya posko itu tidak ada sekali, upaya penertiban terhadap pedagang yang bandel pun nihil. Akibatnya, pedagang kembali leluasa berjualan di bahu-bahu jalan. 

    Revitalisasi pasar pada prinsipnya tak melulu tentang membangun gedung baru dan kemudian diberi embel-embel modern, tapi juga harus mampu melibatkan kebutuhan pedagang hingga mampu menarik minat pembeli untuk datang berbelanja di pasar itu. 

    Metode revitalisasi pasar harus diubah mulai dari sekarang, pendekatan holistik hingga kebijakan yang berbasis kebutuhan yang muncul dari pedagang dan pembeli harus mulai jadi pertimbangan utama. Hal ini agar revitalisasi pasar dilakukan berdasarkan kebutuhan instrumen pasar, yakni; pedagang dan pembeli, dan bukan justru dijadikan sebagai prasasti oleh pemimpinnya.