Bunyi alat masak bertemu wajan terdengar nyaring dari dapur belakang. Aroma tumisan buncis dengan tahu tempe menyeruak ke ruang tamu yang cat dindingnya sudah memudar.
Dulu rumah ini punya tiga mobil. Kini yang tersisa hanya satu motor bebek keluaran 2013 yang tak lagi punya kaca spion kiri. Itulah kendaraan yang setiap hari dipakai Bagas, pemuda 18 tahun yang lulus SMA tiga bulan lalu, namun tak punya apa pun untuk melangkah lebih jauh.
Ayahnya dulu pejabat di Pemprov. Sekarang mendekam di Lapas Rajabasa karena kasus korupsi. Rumah, tanah, deposito—semuanya disita. Dunia Bagas yang dulu berseri, kini menggelap seperti layar ponsel kehabisan baterai.
Namun, hidup tak berhenti karena malu. Setidaknya, begitulah Ibunya bilang.
“Gengsi itu makanan paling mahal, Gas,” ujar Ibu suatu sore sambil mengepel lantai, “Kalau bisa kenyang, mungkin kita udah makan gengsi aja tiap hari.”
Bersama Mbak Dini, mantan pembantu rumah tangga yang menolak pergi meski tak lagi digaji, Ibu memulai usaha katering kecil-kecilan. Masak tiga atau empat menu rumahan, dikemas sederhana, lalu diantar ke tetangga dan anak-anak kos di sekitaran Way Halim dan Sukarame.
Bagas, si anak mantan pejabat, kini tukang antar makan siang. Dan anehnya, ia tak pernah merasa lebih berharga sebelumnya.
Hari itu, langit cerah. Bagas sedang memeriksa kotak styrofoam berisi ayam goreng balado dan oseng daun pepaya, saat Ibu menyodorkan alamat baru.
“Ini, kos-kosan Putri. Anak kuliahan, katanya biasa makan jam dua belas. Orangnya sopan.”
Bagas mengangguk, menghidupkan motornya, dan menuju jalan di belakang kampus swasta. Di sana ia bertemu Kirana. Mahasiswi semester tiga jurusan Digital Media, mengenakan kaus longgar dan celana training abu-abu. Wajahnya tampak tergesa saat menerima makanan. Ia memang sedang bergegas.
Namun, mobil sedan silver miliknya tak mau menyala. “Aduh, mogok lagi,” keluhnya pelan, lalu menoleh pada Bagas. “Mas… bisa anterin aku ke Lapangan Saburai nggak? Aku ada pengambilan gambar tugas film pendek…”
Bagas terdiam sejenak. Ia tidak terbiasa ditawari kedekatan oleh dunia yang dulu tampak jauh. Tapi ia mengangguk.
Di perjalanan, Kirana menceritakan tentang proyek dokumenter kampusnya. Tentang bagaimana ia ingin merekam potret manusia Lampung hari ini—yang berjuang bukan hanya melawan kemiskinan, tapi juga kehilangan, trauma, dan kenangan akan rumah yang tak lagi ada.
Bagas hanya menjawab sedikit. Tapi sorot matanya merekam banyak. Sejak kecil, ia gemar membaca novel dan cerita pendek. Dunia fiksi memberinya tempat sembunyi dari rumah yang dingin oleh kesibukan ayahnya dan dingin oleh AC yang selalu menyala.
Hari-hari selanjutnya, Kirana mulai sering memanggil Bagas. Bukan hanya untuk mengantar makanan. Tapi juga untuk sekadar menemani saat ia duduk di teras kamar kosnya, mengedit video di laptop.
Bagas tak banyak bicara, tapi sering membantu memberi masukan. “Kalau angle-nya kamu geser lima detik ke kanan, kamu bisa dapet sorot mata si ibu-ibu itu lebih tajam. Narasinya bisa kamu ikuti pakai kutipan dari dialog dia tadi.”
Kirana menoleh. “Kamu tahu narasi?”
Bagas mengangguk pelan. “Sedikit. Aku suka baca. Dulu Ayahku sering beliin buku… sebelum semua ini.”
Kirana tidak bertanya lebih jauh. Tapi sejak itu, setiap kali Bagas datang, ia selalu menyelipkan satu atau dua pertanyaan: “Kalau tokoh film dokumenter ini anak muda yang putus sekolah, kamu kira apa yang paling ingin dia bilang ke dunia?”
Bagas menjawab tanpa ragu, “Bahwa hidup nggak pernah adil, tapi kita bisa belajar menertawainya.”
Film pendek Kirana rampung tiga minggu kemudian. Ia mengucapkan terima kasih pada Bagas lewat pesan di WhatsApp, dengan ucapan: “Tanpa kamu, ini cuma jadi tugas. Dengan kamu, ini jadi cerita.”
Tapi setelah itu, jarak terbentuk. Kirana mulai sibuk dengan mata kuliah lain, sedangkan Bagas makin sibuk dengan orderan yang makin banyak. Mereka hanya bertemu sekilas—saling sapa saat kotak makan diserahkan, tanpa pernah lagi duduk lama di teras yang sempit itu.
Hingga suatu malam, rumah kecil itu kembali disapa lampu mobil.
Bagas yang sedang membantu Ibu mencuci piring menoleh saat mendengar klakson pelan. Di depan pagar, berdiri Kirana dengan kaus putih, rambut dikuncir ke atas, wajahnya gugup. “Maaf malam-malam… kamu bisa ke luar sebentar?”
Bagas mengangguk dan membawanya ke depan kolam kecil yang dulunya hanya dekorasi. Kini kolam itu hanya berisi dua ikan koi.
Kirana duduk di tepian, menggoyang-goyangkan kaki. “Aku sempat mikir mau ngajak kamu jalan. Tapi rasanya aneh.”
Bagas tersenyum. “Iya. Rasanya aku juga nggak tahu harus bilang apa kalau kita jalan.”
Mereka diam lama. Sampai Kirana menoleh dan bertanya dengan suara yang nyaris tak terdengar:
“Boleh nggak… aku mencintai kamu?”
Bagas tak menjawab dengan kata. Ia hanya menatap mata Kirana, lalu mengangguk pelan, seolah takut ucapan akan merusak momen yang terlalu halus untuk disentuh.
Malam itu, Bagas duduk sendirian di depan kolam setelah Kirana pulang. Di tangannya, masih ada kotak bekas makanan yang tadi ia lupa antar. Hidup kadang tak memberi banyak yang bisa dibanggakan. Tapi juga tak sepenuhnya kejam. Dalam reruntuhan kehidupan yang dibangun dari uang kotor, Bagas menemukan sesuatu yang bersih.
Sebuah cinta.
Sebuah pertemuan.
Dan sebuah kesempatan untuk percaya bahwa tak semua cerita harus berakhir seperti ayahnya.
Beberapa hari kemudian, Kirana mengirimkan pesan suara. Suaranya terdengar pelan, tapi hangat.
“Bagas… kamu pernah bilang kamu nggak tahu mau ke mana setelah ini. Tapi buatku, kamu itu narasi yang belum ditulis. Kamu bukan sisa masa lalu. Kamu itu halaman kosong. Dan aku pengin nulis bareng kamu.”
Bagas membaca ulang pesan itu dua kali, lalu membuka buku catatan kosong yang masih tersisa dari masa sekolahnya. Di halaman pertama, ia menulis:
“Aku tak tahu apakah hidup akan membaik. Tapi aku tahu, aku tidak lagi berjalan sendirian.”(*)