Tag: mahasiswa

  • pratama wijaya kusuma

    Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unila, Pratama Wijaya Kusuma (19) meninggal dunia usai mengikuti Diksar Mahepel FEB Unila di Gunung Betung, Pesawaran. Banyak fakta terungkap, hingga adanya ancaman pembunuhan.  

    (Lontar.co): Hari Raya Idul Adha kali ini, hati dan rumah Winarni Wani terasa sepi. Sebagian hidupnya seperti lepas begitu saja.  

    Tak ada lagi uluran tangan dengan senyum yang tulus dari Udo Pratama Wijaya Kusuma, anaknya, yang akan selalu  menjura dan bersimpuh kepadanya tiap kali selesai shalat. 

    Ia kerap melamun, kadang tanpa sadar ia sering memanggil-manggil nama anaknya dengan lirih. 

    Biasanya, Udo—panggilan khas untuk anak laki-laki, tiap kali pulang kuliah selalu bercengkerama dengannya, sekedar bercerita aktivitasnya di kampus atau mencandai dirinya. 

    “Shalatnya itu masyaallah rajin sekali, nggak pernah terlewat. Kemarin waktu bulan puasa, walaupun sedang sakit, ia tetap memaksa puasa,” kata Winarni Wani dengan suara tertahan. 

    Sejak kepergian Udo, wajah Winarni kini lebih banyak muram. Matanya selalu sembab. Sesekali ia masih terus menangis.”Dia anak saya satu-satunya”. 

    Pratama Wijaya Kusuma tewas diduga akibat kekerasan fisik yang ia alami ketika Diksar Mahasiswa Ekonomi Pecinta Lingkungan (Mahepel) di Gunung Betung pada 10-14 November 2024 lalu. 

    Pratama meninggal lima bulan setelahnya. Setelah sempat dirawat dan di operasi untuk yang pertama kalinya pascapenyiksaan di diksar. Dokter menyebut adanya penggumpalan darah di kepala almarhum. 

    Saat mulai merasakan sakit, Winarni memaksa membawa Pratama ke klinik, namun saat hendak dibawa ke rumah sakit, Pratama menolak, ia ketakutan dan khawatir akan adanya ancaman pembunuhan kepadanya jika peristiwa kekerasan selama diksar terungkap. 

    “Nanti ketahuan mama. Kita pulang aja mama, kalau mama sayang udo, mama jangan cerita-cerita. Nyawa aku lagi diancam. Aku lagi diincar mau dibunuh. Mama jangan cerita-cerita, rumah kita jauh mama,” kata Pratama kepada Winarni yang menolak saat hendak dibawa ke rumah sakit. 

    Saat itu, Winarni merasa heran, karena anaknya itu justru tak merasa khawatir dengan sakit parah yang sedang ia alami, tapi malah takut dengan adanya ancaman. 

    “Dada dan perutnya ditendang. Ia juga diinjak-injak, bahkan kukunya sampai terlepas. Anak saya juga dipaksa minum spirtus”. 

    Winarni Wani juga tegas membantah jika anaknya meninggal karena memiliki riwayat sakit tumor otak yang dideritanya, seperti yang disampaikan Ketua Umum Mahepel Unila, Alif Muhammad melalui kuasa hukumnya, Candra yang menyebut kematian Pratama karena tumor otak. 

    “Itu anak saya. Saya tahu anak saya! Dari kecil, udo nggak punya riwayat sakit berat, paling cuma panas, batuk dan pilek saja. Tidak ada penyakit aneh-aneh, bahkan belum pernah masuk ke rumah sakit,” tegas Winarni. 

    Sebelumnya, kuasa hukum Mahepel, menyebut pelaksanaan diksar dilakukan selama tiga hari, mulai dari 14-17 November 2024, dan Pratama meninggal 28 April 2025. 

    “Almarhum wafat karena tumor otak, bukan karena diklat. Setelah kegiatan diksar saja, almarhum masih aktif ke sekretariat dan terlihat di kampus sampai Februari 2025,” bantah Candra. 

    Aksi kekerasan selama diksar juga diakui oleh Arnando Al Faaris, salah satu peserta Diksar Mahepel yang juga sahabat Pratama. 

    Faaris menyebut, saat diksar, semua peserta (6 orang) tidak diperkenankan membawa alat komunikasi hingga dipaksa melakukan perjalanan berat. Ketika tanggal 11 November 2024, keenam peserta diksar diminta berjalan selama 15 jam. 

    Bahkan saat Pratama kelelahan dan minta waktu istirahat, tapi ditolak oleh para senior. Tak hanya itu saja, Faaris juga menyebut sejumlah hukuman fisik, jika dianggap tak memenuhi target perjalanan. 

    “Almarhum Pratama yang sering dihukum, karena fisiknya memang lemah. Kakinya juga luka, punggungnya merah, tapi bukannya dikasihani malah disebut pura-pura,” kata Faaris. 

    Saat itu, Faaris sempat pula melaporkan aksi kekerasan oleh kakak tingkatnya di Mahepel tujuannya untuk mendapat keadilan, tapi sebaliknya, Faaris justru mendapat tekanan. 

    Pascaperistiwa kekerasan di diksar itu hingga tak mendapat keadilan, Faaris langsung mundur sebagai mahasiswa Unila dan tengah mencari alternatif kampus lain untuk bisa melanjutkan kuliah. 

    Keterlibatan senior dalam kekerasan saat Diksar Mahepel juga diakui Wirna berdasarkan pengakuan almarhum anaknya. 

    Saat mendengar pengakuan dari anaknya, Wirna sempat meminta anaknya untuk melawan tindakan kekerasan dari senior-seniornya itu,”tapi, kata anak saya jumlah seniornya sangat banyak, bahkan ada yang tua, yang usianya sekitar 40-an tahun juga ikut di diksar itu,” terang Winarni. 

    Seolah seperti sudah mendapat firasat, Winarni sempat melarang anaknya ikut diksar, tapi almarhum tetap berkeras ingin ikut bahkan sempat kesal dengan larangan ibunya,”dia ngambek sama saya. Dia bilang, dia sudah besar jangan dikekang terus, akhirnya terpaksa saya kasih izin”. 

    Berdasarkan penelusuran Lontar.co, di Desa Talangmulya, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran, yang disebut menjadi tempat aksi kekerasan selama Diksar Mahepel berlangsung, menunjukkan jika kawasan yang berada di kaki Gunung Betung dari sisi barat itu merupakan daerah agrowisata. 

    Desa itu memang kerap dikunjungi wisatawan termasuk mahasiswa, beberapa warga yang ditemui mengaku tiap akhir pekan memang ramai pengunjung yang datang ke desa itu. 

    Selain udaranya yang sejuk dan asri, di desa itu juga terdapat air terjun yang menjadi tujuan utama wisatawan. 

    Sejumlah warga yang ditemui mengaku sempat melihat serombongan orang yang datang ke Desa Talangmulya, pada tanggal 10 November 2024. 

    “Sempat lihat ada rombongan orang, kalau dilihat sih memang masih muda-muda umurnya, tapi ada juga yang sudah berumur, tapi kita memang kurang memperhatikan, apalagi kalau Sabtu dan Minggu itu pasti ramai disini,” ujar salah seorang warga setempat. 

    Ketika ditanya terkait adanya peristiwa kekerasan yang dialami peserta diksar, pada periode tanggal 10-14 November 2024, beberapa warga di desa ini juga tidak mengetahui secara pasti,“kalau itu (peristiwa kekerasan) kita kurang tahu. Kita nggak bilang ada atau tidak (kekerasan), karena itu kan urusan pengunjung masing-masing”. 

    Kuasa hukum keluarga Pratama dan lima mahasiswa lainnya, Icen Amaterly memastikan adanya tindakan kekerasan yang melebihi batas dalam pelaksanaan Diksar Mahepel itu. 

    Icen menyebut sudah memiliki sejumlah bukti mulai dari foto korban pascaoperasi, dan foto korban saat mengikuti diksar hingga foto sepulang dari diksar. 

    Unila Lamban 

    Di saat riuh kasus dugaan kekerasan yang dialami oleh almarhum Pratama bersama lima mahasiswa lainnya terjadi, Unila terkesan lamban menangani. 

    Padahal, pihak keluarga sudah melaporkan kasus ini ke pihak Dekanat FEB Unila, termasuk melampirkan sejumlah bukti yang mengarah pada indikasi kekerasan saat diksar dilakukan, mulai dari; rekam medis, pernyataan keluarga hingga bukti percakapan digital para korban. 

    Anehnya, pihak dekanat tak segera mengambil langkah tegas.  

    Lambannya Unila merespon kasus ini yang kemudian memicu ratusan mahasiswa FEB Unila menggelar aksi di gedung Rektorat Unila (28/5/2025). 

    Ratusan mahasiswa itu bahkan menyindir pihak rektorat dengan sejumlah poster, seperti; ‘“Katanya zona akademik tapi tempat aman untuk kekerasan”. 

    Koordinator aksi,  M. Zidan Azzakri menyatakan kekecewaan mereka terhadap dekanat dalam menindaklanjuti aksi kekerasan senior sekaligus aksi solidaritas terhadap almarhum Pratama. 

    “Kampus harus segera mengambil tindakan tegas!”. 

    Setelah ramai dan terus mendapat tekanan, Unila baru merespon, mulai dari membekukan Mahepel hingga melakukan investigasi terhadap indikasi kekerasan yang dialami peserta diksar. 

    Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Unila, Prof. Sunyono mengatakan Unila telah membentuk satgas untuk mencegah terjadinya kekerasan di kegiatan mahasiswa. 

    Lambannya sikap Unila dalam mengambil langkah terhadap aksi kekerasan ini sempat mendapat cibiran dari sejumlah mahasiswa di media sosial. 

    “Sampai ada korban yang meninggal dulu baru kerja. Padahal, seharusnya itu melakukan antisipasi agar tidak terjadi kasus seperti ini. Ini masalah klasik, soal senior dan junior, bohong kalau rektorat nggak tahu”. 

    Mahasiswa lainnya bahkan menyindir Rektorat Unila yang lagi kelimpungan dilanda kasus perjokian dan plagiasi sejumlah guru besar,”harap maklum, lagi pusing mikirin kasus joki”. 

     

    Winarni Wani berusaha tegar. Hari-harinya kini adalah tentang pencarian keadilan untuk anaknya.”Mama sudah ikhlas Udo. Tenang kamu disana ya Nak”. 

    Selamat Jalan Udo Pratama…