Tag: kenangan


  • Di sebuah kompleks perumahan yang dulunya riuh oleh tawa anak-anak dan derit sepeda sore hari, kini hanya angin yang berkisah. Pohon-pohon trembesi masih berdiri di tepi jalan, tapi dahan mereka tak lagi bergoyang menampung imajinasi masa kecil yang dulu menggantung di sana.

    Hari-hari kini terasa seragam bagi Dimas, pemuda dua puluh tiga tahun yang setiap sore pulang kerja dengan wajah lesu dan kepala penuh beban yang tak bernama.

    Pekerjaannya di kantor tidak buruk. Ia cukup digaji, cukup dihormati, cukup sibuk. Tapi justru dalam kecukupan itu, ada kehampaan yang tak bisa ia rundingkan dengan siapa-siapa. Pulang, mandi, membuka Spotify, menyalakan PS, mematikan lagi. Semua terasa seperti memutar playlist yang sudah lama tak di-update. Hidupnya seperti sebuah game tanpa misi.

    Sore itu, ia berdiri di depan jendela kamarnya, memandangi taman kecil di tengah kompleks. Gazebo reyot di tengah taman itu seperti monumen yang dilupakan. Catnya mengelupas seperti kulit kenangan, dinding kayunya lapuk, dan rumput liar mengintai dari sela ubinnya. Di sanalah dulu, ia dan teman-temannya mengukir masa kecil: main kartu, menyusun batu jadi markas rahasia, atau sekadar duduk-duduk menggosipkan siapa yang disukai siapa di kelas.

    “Kemana kalian semua?” bisik Dimas pada bayangannya sendiri di jendela.

    Saat malam datang dan kesepian mulai memanjat ke leher, Dimas membuka ponselnya. Ia mencari nama-nama lama di daftar kontak: Raka, Gendis, Bayu, Nita, Andre. Jari-jarinya gemetar saat mengetik pesan pertama: “Masih ingat gazebo taman kompleks kita?”

    Tak semua membalas. Ada yang hanya centang dua. Ada yang membalas singkat, basa-basi. Tapi Dimas tak menyerah. Setiap hari, sepulang kerja, ia menyapa satu per satu. Mengingatkan tentang permainan gasing, tentang pedagang cilok yang dulu mangkal di gerbang kompleks, tentang lagu-lagu yang dulu mereka nyanyikan sambil menunggu magrib.

    Hari keenam, ia mulai lelah. Apakah hanya dia yang merindukan masa lalu? Apakah semua sudah terlalu dewasa untuk kembali menjadi anak-anak barang sejenak?

    Minggu pagi, matahari belum tinggi ketika Dimas mendengar suara gaduh di teras rumahnya. Ibunya yang sedang menyeduh kopi bahkan sempat mengernyit, dan ayahnya meletakkan koran sambil berseru, “Ada apa itu?”

    Ketika Dimas membuka pintu, ia tertegun. Di sana berdiri Raka dengan sapu lidi, Bayu membawa ember dan sikat, Nita menggendong kaleng cat, dan Andre menenteng mesin pemotong rumput. Di antara mereka, Gendis menyapa dengan senyum yang sudah lama tak ia lihat.

    “Kami nggak mau nongkrong di gazebo jelek kayak gitu,” kata Raka. “Jadi kita bersihin dulu. Biar pas nongkrong, enak lagi kayak dulu.”

    Dimas hanya mampu tersenyum. Sesuatu menghangat di dadanya, seperti kopi susu hangat di pagi buta.

    Mereka berjalan ke taman bersama, mengangkat alat-alat, saling ejek dan tertawa. Seperti masa kecil, tapi dengan tubuh yang lebih besar dan beban yang lebih berat. Mereka menyapu dedaunan kering, mencabuti rumput liar, mengecat ulang tiang-tiang gazebo. Gendis memutar lagu dari ponselnya, dan mereka bersorak ketika lagu dari masa SD mereka diputar.

    “Gila, lagu ini masih ada ya?” kata Andre.

    “Masih. Seperti kita yang ternyata juga masih ada,” sahut Nita sambil tertawa.

    Gazebo itu perlahan berubah. Dari gubuk kesepian jadi altar kenangan yang dibersihkan oleh cinta yang tak pernah benar-benar pergi. Dimas duduk sejenak, memandangi teman-temannya yang bekerja sambil tertawa.

    Di kepala Dimas, tidak ada lagi suara Spotify. Yang ada hanya alunan tawa dan obrolan hangat yang dulu ia pikir tak akan pernah kembali.

    Sore itu, setelah gazebo selesai dipercantik, mereka duduk melingkar. Minuman kemasan dan keripik dibagikan. Tak ada rencana muluk. Tak ada janji-janji pertemuan rutin. Tapi hari itu, waktu seakan diam untuk memberi ruang pada yang tak sempat disampaikan: bahwa rindu tak perlu megah, cukup disuarakan.

    “Makasih, Mas Dim,” ujar Gendis pelan. “Kalau bukan kamu, mungkin kita nggak akan pernah ngumpul lagi.”

    Dimas tak menjawab. Ia hanya menatap langit yang mulai memerah, seperti pipi seseorang yang baru saja diingatkan bagaimana rasanya dicintai oleh masa lalu yang belum benar-benar pergi.

    Dan ketika malam menutup tirainya, gazebo itu menyala oleh lampu taman. Tak lagi muram. Tak lagi sendiri.

    Mereka pulang satu per satu, tapi Dimas tetap tinggal sebentar. Duduk di tengah gazebo, memandangi jalan kompleks yang perlahan sepi. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia tak merasa bosan. Ia merasa utuh.

    Karena rumah bukan cuma bangunan. Ia juga bisa berupa sekelompok teman yang tak lupa jalan pulang. (*)