Tag: jalan

  • pak ogah

    Sejumlah ruas jalan di Bandarlampung ‘dikuasai’ oleh Pak Ogah, banyak yang jengah dengan ulah mereka, bahkan ada yang pernah diintimidasi. Arus perputaran uang di jasa Pak Ogah ini tembus hingga ratusan ribu tiap harinya. Polisi diam saja? 

    (Lontar.co): Dewi, guru salah satu sekolah swasta di Bandarlampung pernah punya pengalaman menakutkan dengan Pak Ogah yang ada di ruas Jalan Teuku Umar, tak jauh dari Pasar Koga. 

    Tiga bulan lalu, dia baru saja pulang lembur dari sekolahnya di daerah Tanjungkarang. Waktu sudah hampir tengah malam, ia membawa mobilnya dengan pelan menuju ke arah Rajabasa. 

    “Waktu itu, anak saya titip nasi uduk yang ada di Way Halim, kalau saya putar di bawah flyover MBK jelas jauh, jadi saya putar balik di depan Pasar Koga, rencana mau lewat Jalan Pahlawan,” cerita Dewi. 

    Saat tiba di depan Pasar Koga, ia bermaksud putar balik di U Turn yang tak jauh dari RS Advent,”mungkin mereka (Pak Ogah) itu melihat saya sendirian di dalam mobil, kemudian ada satu orang yang langsung berdiri di tengah putaran balik. Saya tak tahu, maksudnya mau apa, tapi saya sempat ngasih kode pake tangan, maksudnya saya nggak usah dibantu puter balik, karena waktu itu jalan juga sudah sepi,” ujarnya lagi. 

    Tiba-tiba karena Dewi tak memberi uang jasa kepada mereka, salah seorang diantaranya memukul mobilnya dengan keras. 

    “Waktu itu saya kaget dan langsung berhenti di tengah-tengah putaran balik itu, saya buka kaca mobil dan menanyakan kenapa mereka mukul mobil saya, tapi mereka malah balik membentak saya”. 

    Salah seorang diantaranya bahkan berusaha menghampiri Dewi dan bermaksud membuka paksa pintu mobil, tapi tak berhasil karena terkunci otomatis,”padahal waktu itu masih ramai orang yang lewat, tapi tak ada yang membantu saya sama sekali”. 

     

    Tujuh kaleng kecil lem aibon itu tersimpan rapi di dalam plastik hitam yang diselipkan di batang-batang tanaman yang tumbuh merimbun di median Jalan Teuku Umar. Tak jauh didekatnya, plastik-plastik bekas yang masih terdapat sisa lem Aibon terserak begitu saja di median jalan. 

    Di dekatnya, tiga pemuda tanggung, berkulit legam terlihat sibuk ‘mengatur’ jalan di ruas putar balik. 

    Mereka menandai tiap kendaraan yang hendak putar balik, cukup dari lampu sein yang hidup, setelahnya mereka sigap menutup arus dari arah berlawanan. 

    Seorang pedagang gorengan yang berjualan tak jauh dari pak ogah-pak ogah itu menyebut, kebiasaan buruk pemuda-pemuda itu yang kerap ‘ngelem’,”biasanya ngelem dulu itu, baru kerja,” ujar pedagang itu. 

    Pedagang  itu juga kadang dibuat kesal oleh ulah mereka yang kerap mabuk-mabukan, apalagi saat malam hari,”kalau sudah pada mabuk, suka rusuh, makan gorengan nggak bayar”. 

    Pedagang itu pernah pula melihat kelompok pemuda itu menghitung uang yang mereka peroleh,”kadang sampai Rp300 ribu. Saya tahu karena mereka sering tukar uang dua ribuannya ke saya,” akunya lagi. 

    Arus perputaran uang di ‘bisnis’ pak ogah ini memang lumayan deras. Rata-rata penghasilan mereka hingga ratusan ribu perhari  tiap kelompoknya,  apalagi di jam-jam sibuk. 

    Di satu U Turn, umumnya dibagi dalam dua kelompok pemuda, tiap kelompok maksimal tiga orang. Kelompok pak ogah ini membagi waktu dalam dua shift, pagi hingga siang dan sore sampai malam. 

    Tim Lontar pernah mengamati aktivitas para penguasa jalanan ini bekerja di ruas U Turn Jalan Teuku Umar dan Jalan Pangeran Antasari, dalam durasi pengamatan yang sama, yakni; 30 menit, di jam kepadatan yang sama pula; siang dan sore. Dan, metode pengamatan dilakukan selama dua hari, tapi tak secara berurutan. 

    Pengambilan sampel memang sengaja dilakukan di kedua ruas jalan ini, karena volume kendaraan khususnya roda empat terbilang padat dibanding ruas jalan lain, yang titik ruas baliknya dikuasai oleh pak ogah. 

    Hasilnya, di ruas putar balik Jalan Teuku Umar yang ramai pada sore hari, rata-rata dalam 30 menit ada sebanyak 40 unit kendaraan (khusus roda empat), yang putar balik. Dari 40 mobil yang putar balik itu, 32 diantarnya memberikan uang jasa ke pak ogah, besarnya variatif, tapi umumnya Rp2 ribu per kendaraan. 

    Sedangkan pada siang hari, jumlah kendaraan yang putar balik, intensitasnya lebih rendah, tak sampai 15 unit kendaraan. Dari 15 unit yang kendaraan yang putar balik selama 30 menit pengamatan, ada 10 pengemudi yang memberi uang ke pak ogah. 

    Sementara, di Jalan Pangeran Antarasi, selama dua hari pengamatan dengan durasi waktu 30 menit di sore hari, rerata ada sebanyak 25 mobil yang putar balik. Dari 25 mobil itu, 12 mobil memberi uang jasa ke pak ogah. 

    Selanjutnya, pada siang hari, volume kendaraan yang putar balik jauh lebih sedikit dibanding sore hari. Dalam kurun waktu 30 menit, ada 16 mobil yang putar balik. Dari 16 mobil, 10 memberikan uang ke pak ogah. 

    Meski tak bisa dijadikan acuan, namun dari pengamatan itu, bisa dibayangkan berapa penghasilan pak ogah dalam sehari, hanya dengan bekerja dalam hitungan kurang dari 6 jam per kelompoknya. 

    Ada kabar pula, basahnya ‘lahan’ U Turn ini menjadi rebutan oleh sejumlah kelompok, bahkan pernah terjadi keributan antarkelompok untuk menguasai ruas putar balik khususnya di Jalan Teuku Umar dan Jalan Z.A Pagar Alam. 

    Semula, ruas putar balik di jaga oleh kelompok ‘anak punk’. Awalnya, mereka hanya menjaga ruas putar balik di Jalan Soekarno-Hatta (By Pass) saja, tapi kemudian melebar hingga ke jalan protokol, termasuk di Jalan Teuku Umar dan Jalan Z.A Pagar Alam dan Jalan Pangeran Antasari. 

    Karena menggiurkan, sekelompok orang kemudian mengambilalih lokasi dari anak-anak punk ini, yang memicu keributan.  

    Udin, petugas parkir di salah satu gerai waralaba di Jalan Pangeran Antasari yang berhadapan langsung dengan ruas putar balik yang terbilang ramai, mengaku pernah melihat tawuran sekelompok pemuda,”bawa pedang segala,” ujarnya. 

    Yang ia dengar, tawuran dipicu karena perebutan ruas putar balik,”saya lihat ada yang luka tapi langsung dibawa temannya entah kemana”. 

    Beberapa hari kemudian, petugas parkir itu melihat pak ogah-pak ogah yang ada di ruas putar balik sudah berganti wajah. 

    “Memang puteran (U Turn) itu paling ramai dibanding yang lain, jadi wajar kalau jadi rebutan,” timpalnya lagi. 

    Ia pernah menegur pak ogah-pak ogah yang wajahnya terlihat asing baginya,”kalau muterin balik itu semaunya aja, akhirnya jadi macet panjang. Sempat saya tegur, kalau muterin itu liat-liat kondisi dulu nggak asal-asalan,” akunya. 

    Ketidakpahaman tentang cara mengatur arus lalu lintas memang jadi masalah serius yang dipicu oleh keberadaan pak ogah ini. 

    Bahkan ada  kecenderungan, mereka sengaja menciptakan kemacetan di tiap ruas putar balik agar pemilik kendaraan mau membayar jasa mereka. 

    Udin pun membenarkan hal itu, menurutnya, kemacetan memang sengaja dibuat oleh pak ogah-pak ogah ini agar kendaraan yang hendak putar balik kesulitan,”kalau sudah macet kan mau nggak mau harus ngikutin aturannya mereka”. 

    Dampaknya, di jam-jam sibuk yang padat kendaraan, seperti siang dan sore hari, ruas-ruas jalan yang dikuasai oleh pak ogah ini menjadi sumber kemacetan utama. 

    Pemandangan kemacetan panjang menjadi lazim dilihat di keempat jalanan itu. Faktornya, pak ogah-pak ogah itu semaunya saja mengatur lalu lintas sehingga memicu kemacetan leher botol (bottleneck). 

    Ruas jalan tersumbat, kendaraan kian menumpuk di satu titik dalam waktu yang lama. 

    Ulah pak ogah penguasa jalan ini juga kerap membuat kesal pengemudi, pernah pula menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas. 

    Di Jalan Soekarno-Hatta beberapa hari lalu terjadi kecelakaan beruntun, pasalnya pak ogah-pak ogah semaunya saja menghentikan kendaraan dari arah berlawanan, padahal kebanyakan kendaraan yang melintas di jalan ini berkecepatan tinggi, akibatnya saat Pak Ogah menghentikan laju mereka, kecelakaan tak terhindarkan.  

    Pernah Ditangkap tapi Tak Kapok 

    Sebenarnya, polisi pernah menangkapi para penguasa jalanan ini, namun mereka tak kapok, beberapa ada yang kucing-kucingan dengan aparat. 

    Pertengahan Mei 2025 lalu, belasan pak ogah ditangkap saat Operasi Pekat Krakatau oleh Polresta Bandarlampung. 

    Mereka ditangkap karena selain membuat kemacetan, juga kerap membuat resah pengendara. 

    Ada 14 orang yang ditangkap. Tapi, setelah ditangkap, kebanyakan dari mereka hanya di data, setelah dilepas, mereka berulah kembali. 

    Polisi bahkan sudah memasang barrier-barrier di salah satu ruas U Turn yang dikuasai oleh pak ogah, tapi oleh mereka, pembatas jalan itu dibuka kembali. 

    Pengamat perkotaan  Tubagus Haryo Karbyanto menyebut perlunya aturan yang tegas dari aparat kepolisian terhadap keberadaan pak ogah-pak ogah ini yang dinilai sudah sangat meresahkan. 

    “Jangan sampai aparat kepolisian tak berdaya menghadapi pak ogah-pak ogah ini,” ujarnya. 

    Apalagi, keberadaan pak ogah-pak ogah ini punya kecenderungan negatif ketimbang manfaat positifnya. 

    “Aktivitas pak ogah ini kian mengarah menjadi profesi yang melembaga. Oleh karena itu, polisi harus hadir memberikan rasa aman dan nyaman di jalanan,” katanya lagi. 

    Belajar dari Bu Ogah Maimunah 

    pak ogah
    Maimunah

    Tapi, tak semua Pak Ogah menguasai, di ruas putar balik yang juga persimpangan antara Jalan Teuku Umar dan Jalan Sam Ratulangi, ada pula Maimunah, ‘Bu Ogah’ yang justru mengundang iba. 

    Menjadi Bu Ogah, bukan pilihan buatnya, apalagi penyakit asam urat membuat kedua kakinya harus berjalan tertatih. 

    Ia tak berusaha memonopoli arus putar balik di ruas itu, sebaliknya ia justru menunggu kesadaran pemilik kendaraan dari arah Tanjungkarang untuk berhenti sejenak, memberi kesempatan pengendara lain putar balik. 

    Sebenarnya, tak banyak kendaraan roda empat yang putar balik di sisi Markas Korem itu, kebanyakan malah sepeda motor, mungkin karena itu pula, ruas putar balik ini tak dilirik oleh pak ogah-pak ogah lain.  

    Meski berperawakan kecil dan gempal namun tak lantas membuat Maimunah tergagap menjadi bu ogah. Ia juga menggenggam kain kecil yang diikat di kayu kecil sebagai alatnya untuk meminta jalan kepada pengendara. 

    Penghasilannya tak tentu. Kadang hanya membawa pulang Rp20 ribu, paling banyak bisa sampai Rp30 ribu. 

    Ia pula tak pernah mematok jasa yang ia lakukan,”yang penting ikhlas. Dikasih 500 juga nggak apa-apa,” tutur Maimunah. 

    Ia bekerja mulai dari siang hari hingga sebelum Isya, waktu ini sengaja ia batasi, karena tempat tinggalnya lumayan jauh di Natar,”kalau sampai malam, nanti nggak dapat angkot pulang”. 

    Maimunah adalah pengecualian. Ia jelas berbeda dengan kelompok-kelompok pak ogah yang kini menguasai ruas-ruas jalan yang ramai di Bandarlampung.