Setara Institute kembali merilis daftar 10 kota paling intoleran di Indonesia, salah satunya ada Bandarlampung diurutan ke-6. Setidaknya ada tiga kasus paling menonjol, selain tak berpihaknya kebijakan pemerintah kota terhadap warga.
(Lontar.co): Hari itu, Minggu (19/2/2023) pukul 9.30, sinar mentari pagi sedang terang-terangnya, beberapa jemaat Gereja Kristen Kemah Daud yang masih di teras, bergegas masuk untuk mengikuti ibadah raya, seperti biasa.
Saat jemaat tengah khidmat mengikuti prosesi, tiba-tiba dari arah luar jalan, terdengar suara gaduh sejumlah orang yang melompat pagar dan merangsek masuk ke dalam gereja.
Seketika suasana menjadi riuh, sekelompok orang yang merangsek masuk berusaha membubarkan jemaat. Suara teriakan dan kepanikan terdengar, sebagian jemaat yang kebanyakan perempuan, berlari keluar gedung.
Sihombing salah satu jemaat kala itu sempat berusaha menenangkan sekelompok orang itu, tapi tak berhasil,”mereka terus masuk,” ujarnya.
Peristiwa ini sempat menjadi sorotan nasional, apalagi menjelang tahun-tahun politik. Banyak yang mengecam. Pemerintah daerah dianggap gagal membina kerukunan umat beragama, apalagi pelakunya justru aparat pemerintah.
Kenangan buruk pembubaran ibadah jemaat GKKD itu memang masih membekas dan menyisakan trauma, tapi mereka berusaha melupakannya,”kita jadikan pelajaran dan pengalaman saja, toh sekarang sudah damai, kita bisa beribadah seperti biasa,” ujar salah seorang jemaat.
—
Hanya selisih dua minggu, sebelum peristiwa pelarangan ibadah GKKD di Rajabasa, jemaat Gereja Protestan Injili Nusantara (GPIN) Filadelfia di Tanjungsenang juga mengalami hal serupa, Minggu (5/2/2023).
Tapi, pelarangan ibadah ini nyaris tenggelam apalagi setelahnya kasus yang dialami jemaat GKKD di Rajabasa spektrumnya jauh lebih luas.
Pimpinan GPIN Filadelfia Tanjungsenang, Pdt Mardi menyebut setidaknya sudah tiga kali terjadi pelarangan ibadah sepanjang tahun 2020 hingga 2023.
Alasannya, tempat pastori itu belum memiliki izin dan persetujuan warga sebagai tempat ibadah. Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri menjadi dalih warga melarang jemaat GPIN menggelar ibadah.
Dalam aturan PBM disebut, pembangunan rumah ibadah harus mendapat persetujuan paling sedikit 60 orang dan telah mendapat rekomendasi secara tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Saat itu, ada 20 orang warga yang mendatangi jemaat yang hendak beribadah. Pdt Mardi terpaksa menghentikan ibadah raya dan membuat pernyataan penghentian ibadah.
—
Setahun sebelumnya, selepas subuh 7 Juni 2022, polisi menangkap pimpinan Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Baraja di kantor pusat Khilafatul Muslimin, Jalan WR Supratman, Bumiwaras.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BPNT) menyebut Khilafatul Muslimin adalah kelompok radikal yang berdiri sejak 1997 yang cenderung mengarah pada tindakan-tindakan intoleransi.
Sedangkan pemimpinnya, Abdul Qadir Baraja adalah mantan napi terorisme yang juga pernah terafiliasi dengan Negara Islam Indonesia (NII).
Baraja pernah ditahan pada 1979 karena terhubung dengan kelompok Warman yang diklasifikasikan sebagai gerakan pengacau keamanan (GPK).
Kemudian, tahun 1985, Baraja kembali ditahan karena terkait kasus bom Borobudur dan Jawa Timur.
Organisasi Khilafatul Muslimin dianggap radikal karena ideologi khilafah yang bertentangan dengan Pancasila.
—
Dua kasus intoleran dan satu sebaran bibit radikal di Bandarlampung itu, bisa jadi menjadi dasar Setara Institute menempatkan kota ini diurutan ke-6 kota paling intoleran di Indonesia.
Sejak tahun 2023, Kota Bandarlampung ‘konsisten’ masuk dalam daftar kota paling intoleran di Indonesia versi Setara Institute.
Tahun 2023, Bandarlampung berada di peringkat ke-9, sebagai kota paling intoleran, dengan skor toleransi 4,45.
Kemudian, tahun 2024, peringkatnya naik di urutan ke-6, meski secara skor mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, 4,35.
Setara menggunakan setidaknya 8 variabel yang dijadikan indikator indeks kota toleran, yang meliputi; Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), kebijakan pemerintah kota, peristiwa intoleransi, dinamika masyarakat sipil, pernyataan publik pemerintah kota, tindakan nyata pemerintah kota, heterogenitas agama, dan inklusi sosial keagamaan.
Setara juga mengkompilasi data dari BPS, Komnas Perempuan, data Setara Institute, dan merujuk pada sejumlah media yang dianggap kredibel.
Selain itu, teknik pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner self-assessment kepada seluruh pemerintah kota yang melibatkan sebanyak 94 kabupaten/kota sebagai obyek kajiannya.
Visi-visi toleransi melalui kebijakan dalam pembangunan juga menjadi bahan telaah Setara, termasuk kinerja pemerintahnya yang dianggap tak kunjung memberi inovasi sebagai upaya toleransi.
Meski, ruang komunikasi antaragama sudah terbangun dengan baik di Kota Bandarlampung, namun acap kali kebijakan pemerintah kota kerap tak sinkron.
Yang terbaru adalah pembangunan Tugu Pagoda di Telukbetung yang mendapat reaksi dari masyarakat kota, namun ditanggapi dingin oleh Pemkot Bandarlampung hingga berujung pada upaya gugatan citizen law suit.
Gugatan ini mempersoalkan pembangunan Tugu Pagoda yang dibuat di atas fasilitas umum, yang dinilai melanggar hukum sesuai aturan bahwa tidak ada satupun pihak atau golongan yang berhak membangun di atas fasilitas umum yang menjadi akses semua orang.
“Indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusianya kuat sekali,” kata kuasa hukum warga, Gunawan Pharikesit.
Warga juga menuntut agar tugu itu diganti menjadi Tugu Krakatau, sebagai simbol sejarah letusan Gunung Krakatau yang gelombang tsunaminya bahkan menenggelamkan sebagian besar wilayah Telukbetung.
Warga melalui Aliansi Masyarakat Peduli Bandar Lampung (AMPBL) sudah berusaha berkoordinasi dengan Pemkot Bandarlampung tapi hasilnya nihil,”jalan terakhirnya adalah mencari keadilan di citizen law suit ini,” kata Gunawan lagi.
Seorang warga keturunan yang tinggal dan memiliki toko tak jauh dari lokasi pembangunan Tugu Pagoda juga mendukung upaya gugatan citizen law suit itu, menurutnya amat riskan membangun sesuatu apalagi tugu berukuran besar di persimpangan jalan yang amat padat.
“Itu lokasi yang padat lalu lintasnya, karena jadi persimpangan antara Jalan Ikan Hiu dan Ikan Bawal. Bahwa Telukbetung identik dengan kawasan pecinan itu betul, tapi tak juga harus membangun tugu pagoda,” katanya.
Apalagi, banyak simbol-simbol penanda kampung pecinan yang sudah ada di Telukbetung sejak lama, seperti Vihara Thay Hin Bio.”Justru kalau ada tugu itu, ikon pecinan yang selama ini melekat di Vihara Thay Hin Bio jadi bias”.
Idealnya, kebijakan pembangunan pemerintah memang berdasarkan kebutuhan warga kotanya, bukan ego sentris pemimpinnya.
Apalagi, kebanyakan masyarakat yang tinggal di kampung pecinan Telukbetung lebih menginginkan suasana yang tentram, damai dan tak gaduh,”kita yang hidupnya dari usaha tentu butuh suasana yang damai”.
Tapi, tak ada sanggahan apalagi evaluasi apapun dari Pemkot Bandarlampung ditengah sorotan intoleransi itu.
Maka, akan sangat mungkin Bandarlampung akan kembali ada di peringkat teratas daftar kota paling intoleran di Indonesia tahun 2025.