Tag: indah


  • “Kadang, perjalanan terbaik bukan yang menempuh jarak paling jauh. Tapi yang menembus paling dalam.”

    Pada mulanya adalah rencana. Rencana yang disulam dari tawa-tawa kantor, disematkan di sela-sela deadline, dan dikuatkan oleh deret DM tentang sewa cottage dan bensin. Weekend mendatang, Pantai Tanjung Setia adalah jawab dari segala penat. Di sana, langit dan laut akan bersetubuh dalam cakrawala, dan mereka bertiga—Nayla, Sinta, dan Rara—akan beristirahat di antara desir ombak dan aroma kelapa.

    Nayla bahkan sudah membayangkan detik-detik bangun tidur dengan rambut kusut dan angin laut yang menjalari pori-pori, sebelum menyeruput kopi di beranda cottage yang katanya “mirip suasana Bali”.

    Tapi hidup, seperti biasa, gemar bermain-main dengan hal-hal yang tak masuk dalam to-do list manusia.

    Sabtu pagi itu, demam menjelma badai kecil di tubuh Nayla. Ia menggigil di balik selimut seperti bunga muda yang tak tahan embun fajar. Ibunya meletakkan telapak di dahi, lalu berkata dengan suara seperti hujan rintik, “Tidak usah pergi. Tubuhmu sendiri menolak.”

    Nayla tahu. Ia tahu tubuhnya tak bohong. Tapi hatinya? Menolak pasrah. Rasa bersalah pada dua sahabatnya berkecamuk di dada, bagai ombak menabrak batu karang. Dengan berat hati, dia menuliskan pesan singkat di grup, memohon maaf, dan merelakan kepergiannya dibatalkan.

    Sinta dan Rara tetap berangkat. Mereka paham, walau sedikit kecewa. Layar ditarik, jangkar diangkat, kapal liburan tetap melaju, meski tak lengkap awaknya.

    Hari itu Nayla hanya tidur. Di kamar lantai dua yang biasanya ia lewati begitu saja sepulang kerja, kali ini jadi sangkar penyembuhan. Sore, ia terbangun. Badannya tak lagi menggigil. Kepalanya tak lagi berat. Tapi hatinya? Masih remuk.

    Ia berjalan ke balkon. Tempat yang selama ini hanya jadi latar belakang ketika story Instagram butuh cahaya alami. Ia memandangi tanaman-tanaman yang ditanam ibunya: anggrek, kembang sepatu, dan sebatang jambu air dalam tong bekas cat yang tumbuh dengan tak tahu diri—sudah berbuah padahal hanya numpang hidup.

    Selang air tergeletak di sudut. Entah kenapa, Nayla mengambilnya dan mulai menyiram. Setetes, dua tetes, lalu jadi gerimis kecil yang membasuh daun-daun. Airnya mengalir seperti lagu lama yang baru didengar ulang—menggugah, menyadarkan.

    “Kenapa aku baru tahu semua ini?” bisiknya.

    Balkon itu bukan cuma balkon. Ia adalah panggung kecil bagi kehidupan yang sunyi tapi setia. Bunga yang mekar tanpa pujian, daun yang gugur tanpa tangisan, jambu air yang tetap manis meski tak ada yang memetik. Nayla menatap senja yang mulai memoles langit. Hangatnya menjalari jantung. Di tempat ini, ia menemukan Bali versi dirinya sendiri.

    Waktu berjalan lambat sore itu. Setelah menyiram tanaman, Nayla duduk diam. Tak main ponsel, tak menyalakan musik. Hanya diam, mendengar suara dunia yang sering ia abaikan: cericit burung gereja di genteng, suara ibu menumbuk bumbu di dapur bawah, dan deru motor tetangga yang baru pulang dari pasar. Kehidupan terasa sangat biasa—tapi justru di situ letak keindahannya.

    Ketika turun ke dapur, ia melihat ibunya sedang mengiris bawang dengan mata setengah basah. “Capek, Ma?” tanya Nayla, setengah iba.

    “Enggak. Bawangnya aja ini yang drama,” jawab ibunya, lalu tertawa kecil. Tawanya seperti aroma daun jeruk—segar, lembut, dan membuat nyaman.

    Nayla ikut membantu. Mereka memasak nasi goreng sederhana, sambil bercerita tentang tetangga yang barusan pindah, dan seorang mantan rekan kerja ibu yang tiba-tiba jualan herbal di Facebook. Obrolan kecil itu, yang dulu dianggap Nayla sebagai basa-basi orang tua, malam itu terasa seperti rajutan—menyambung kembali kain yang sempat robek antara anak dan ibunya.

    Malam turun seperti kelambu. Kakaknya pergi dengan tunangannya, papa dan mama duduk santai menonton TV. Seperti malam-malam biasanya. Tapi Nayla tak ingin kembali ke kebiasaan. Tidak malam ini.

    Ia duduk di depan keyboard elektrik di ruang tengah. Jari-jarinya menyentuh tuts dengan ragu, lalu mengalir seperti sungai yang sudah lama kering tapi tiba-tiba mendapat hujan. Lagu pertama yang ia mainkan adalah “Let It Be”. Papa bersenandung pelan. Mama ikut menimpali dengan suara lembut yang mengandung kenangan.

    Lagu kedua, lagu ketiga, lalu suara mereka menjadi satu. Mereka bertiga seperti keluarga dalam film-film lama, yang hanya butuh satu piano untuk menciptakan kebahagiaan. Bahkan ayah yang biasanya diam, ikut menepuk-nepuk meja sambil tertawa waktu Nayla memainkan lagu “Kemesraan”.

    Malam itu, Nayla tak merasa sendiri. Rumah bukan sekadar tempat pulang. Ia adalah panggung, taman bermain, studio musik, dan altar sunyi untuk jiwa yang sering lelah.

    Hari-hari selanjutnya, Nayla seperti dilahirkan ulang. Ia bangun lebih pagi hanya untuk memberi makan ikan koi bersama papa. Ia memeluk balkon tiap sore sepulang kerja, menyiram tanaman dan berbincang dengan bunga seperti sahabat lama. Ia memainkan satu lagu sebelum tidur, bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk dirinya sendiri.

    Akhir pekan berikutnya, grup DM kembali hidup. Rara mengusulkan kafe baru di pusat kota. Sinta setuju. Tapi Nayla menjawab dengan kalimat yang membuat mereka bungkam: “Nginep di rumahku, yuk.”

    Mereka sempat mengira Nayla bercanda. Tapi malam itu, mereka tiba dengan ransel kecil. Naik ke lantai dua. Dan terkejut.

    Balkon Nayla sudah berubah. Lampu taman etnik menggantung di sisi-sisi. Ada karpet tipis dan bean bag. Keyboard elektrik dan amplifier berdiri siap. Sebuah meja kecil berisi camilan dan teh hangat. Tanaman berbunga menyapa dengan aroma pelan. Udara malam membungkus mereka seperti selimut tipis yang nyaman.

    Nayla memainkan lagu, suara piano menyelinap ke sela dedaunan. Tanpa aba-aba, Sinta dan Rara ikut bernyanyi. Suara mereka serak-serak bahagia. Tidak perlu cottage, tidak perlu laut. Mereka punya malam, musik, dan kehadiran satu sama lain.

    Setelah lagu ketiga, mereka terdiam. Lampu-lampu kota dari kejauhan berkedip seperti kunang-kunang elektronik. Hening yang hangat menyelimuti mereka.

    Rara berkata, “Nay, selama ini kita sibuk cari yang jauh. Padahal yang indah itu kadang cuma sejauh balkon rumah.”

    Sinta mengangguk. “Kita ke mana-mana cuma buat merasa ‘hidup’. Tapi ternyata, hidup itu… sudah ada di sini. Kita aja yang lupa ngelihat.”

    Nayla tersenyum. “Kadang, kehilangan rencana bisa jadi jalan ketemu diri sendiri.”

    Malam itu mereka tidak tidur cepat. Obrolan mengalir seperti sungai yang menemukan kembali arah. Tentang pekerjaan, cinta, keluarga, masa depan. Tapi juga tentang tanaman, suara burung pagi, dan wangi sabun di kamar mandi rumah sendiri.

    Saat hujan tiba-tiba turun rintik, mereka tidak masuk. Mereka duduk lebih rapat, menonton langit yang mengirimkan berkatnya perlahan.

    Dan ketika semua telah hening, hanya satu suara yang tersisa—suara hati mereka sendiri. Yang selama ini tenggelam di balik bising kota, kini menemukan ruang untuk bicara.

    Keesokan pagi, matahari menyelinap dari celah dedaunan balkon. Rara masih terlelap di bean bag, Sinta bersandar di dinding. Nayla duduk di lantai, menatap langit. Ia menyeduh teh, menuliskan sesuatu di jurnal kecilnya:

    “Kadang, perjalanan terbaik bukan yang menempuh jarak paling jauh. Tapi yang menembus paling dalam.”

    Ia tidak pergi ke Tanjung Setia. Tapi ia menemukan lautan lain. Lautan dalam dirinya sendiri.

    Sebuah liburan yang tidak direncanakan. Tapi justru menyelamatkan.(*)