Tag: Gubernur Lampung


  • Peka. Mungkin itu kata paling tepat untuk menyambut instruksi Gubernur Rahmat Mirzani Djausal. Dia menghapus pungutan komite sekolah yang selama ini kerap dikeluhkan banyak wali murid. Sekolah tetap akan disuport anggaran dari APBD. Asal, kepala sekolah tidak ongkang-ongkang kaki.

    (Lontar.co): Dana komite sekolah selama ini dianggap sebagai “dewa penolong” oleh para kepala sekolah. Sebab, kalau hanya mengandalkan dana BOS untuk mengongkosi biaya operasional sekolah, banyak kepala sekolah mengaku bakal kelimpungan. Aktivitas pendukung proses belajar mengajar disebut-sebut bakal sangat terbatas.

    Namun, pertanyaan sebaliknya layak diajukan. Apakah dengan memperbolehkan sekolah menghimpun duit “saweran” dari para wali murid seperti yang berlangsung selama ini, lantas harapan yang diidamkan sudah terwujud optimal. Atau malah masih jauh panggang dari api. Bahkan tak jarang jadi sumber persoalan di tiap awal tahun ajaran.

    Kecurigaan tersebut kiranya terjawab. Coba tengok data yang disampaikan Gubernur Mirza saat memberi pengarahan kepada kepala-kepala SMAN/SMKN dan SLBN se-Provinsi Lampung di Aula SMAN 2 Bandarlampung, Kamis (5/6/2025). Menurutnya, ada 30 sekolah tidak mampu mengantarkan anak didiknya untuk diterima melalui jalur UTBK. Tidak sampai di situ saja. Terdapat juga 49 sekolah yang bahkan tidak mampu meloloskan siswanya ke semua jalur penerimaan perguruan tinggi.

    Akumulasi sekolah yang prestasinya tidak dapat dibanggakan tersebut merupakan bagian dari 352 SMAN/SMKN di Lampung. Namun bukan berarti sekolah lain sudah menunjukkan kualitas memadai. Karena sangat mungkin keberhasilan yang dicapai lulusan lainnya merupakan usaha mandiri dari tiap murid yang didukung penuh orang tua. Misalnya, secara swadaya wali murid menyertakan anaknya masuk bimbingan belajar.

    Sementara dari ratusan sekolah, hanya terdapat 20 sekolah yang masuk kategori peringkat terbaik di Lampung. Itu dilihat berdasarkan jumlah siswa yang lulus seleksi masuk perguruan tinggi pada 2025.

    Belum optimalnya pencapaian sekolah-sekolah itu yang kiranya melatar belakangi keputusan Gubernur Mirza untuk melakukan perubahan di bidang pendidikan. Salah satunya ya itu tadi, mulai tahun ajaran 2025/2026 ini, dia melarang sekolah menarik dana dari wali murid yang selama ini dibungkus dengan label uang komite sekolah.

    “Jangan ada lagi sekolah yang menarik uang komite dari anak-anak murid, walau sepeser pun,” tegas Gubernur Mirza, seraya menambahkan, “Berapa pun kebutuhan sekolah, nanti saya bantu anggarannya. Tapi Bapak-Ibu bantu saya juga. Kita sama-sama perbaiki pendidikan”.

    Gubernur juga mengutarakan, sebagai legitimasi dari keputusannya tersebut, Pemprov Lampung akan menerbitkan peraturan gubernur. Selain itu Mirza mengatakan, Dinas Pendidikan juga akan membuat 35 sekolah unggulan.

    Kebijakan berikutnya, masih menurut gubernur, akan ada satu mata pelajaran tambahan bagi murid kelas 3 SMA. Yakni berupa pilihan pelajaran bahasa asing. Seperti bahasa Jepang, Korea atau Arab. Gubernur juga menegaskan akan meminta pendistribusian seluruh CSR perusahaan yang ada di Lampung untuk difokuskan pada sektor pendidikan.

    Sedangkan kepada para kepala sekolah juga akan diterapkan tiga tolok ukur keberhasilan. Adapun parameternya dilihat dari tingkat kelulusan siswa ke perguruan tinggi. Kemudian tingkat penyerapan lulusan di dunia kerja, serta jumlah lulusan yang mampu berwirausaha mandiri.

    “Bapak-Ibu, kalau kita mau bermanfaat bagi anak bangsa, kita bisa memulainya dari sekolah. Kita perlu menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki daya saing. SDM serupa itu yang bisa menjadi fondasi untuk mengangkat kemajuan daerah dan Indonesia. SDM-nya mana? mereka sekarang lagi sekolah di tempat Bapak-Ibu sekalian,” papar Gubernur Mirza.

    Diakuinya untuk dapat mewujudkan semua harapan itu memang bukan perkara gampang. Tapi tetap harus dimulai. Oleh karenanya dia meminta semua pihak terkait mau bekerja keras. “Keikhlasan bisa membantu kita menjalani semuanya. Mendidik secara ikhlas, penuh kasih sayang dan sungguh-sungguh,” pinta Mirza.

    Sementara sebelumnya saat memberi pengarahan terhadap 53 kepala SMAN/SMKN se-Lampung Tengah dan Tulangbawang Barat di aula SMAN 1 Terbanggi Besar, Lampung Tengah, Kepala Dinas Pendidikan Thomas Amirico mengutarakan hal nyaris serupa.

    Ketika itu dia menggaris bawahi masih banyaknya kepala sekolah yang “melempem” dalam mengukir prestasi sekolah. Termasuk dalam mempersiapkan anak didik untuk dapat melanjutkan ke perguruan tinggi negeri.

    “Saya mau lari untuk kejar prestasi pendidikan di sekolah. Kalau ada Bapak-Ibu kepala sekolah yang sekiranya keberatan diajak ikut berlari, masih mau pakai gaya lama jalan lambat, lebih baik bilang. Silakan mengundurkan diri. Nanti saya langsung teken suratnya,” tegas Thomas, Selasa (27/5/2025).

    Dirinya juga menyoroti lemahnya kinerja kepala sekolah yang kurang fokus memperhatikan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. “Kalau sekarang saya pinta, kepala sekolah harus paling depan tahu di mana persoalan atau kendala untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolahnya. Setelah itu cari tahu apa solusi efektifnya lalu terapkan. Jangan cuma diam-diam aja,” ungkapnya. (*)



  • Langit di Lampung terasa sama seperti biasanya, biru, tenang, dan dihiasi awan yang melayang pelan. Tapi siapa nyana, dari tanah yang dikenal dengan kopi robusta dan ladang singkong ini, sebuah mimpi besar sedang bersiap untuk terbang ke angkasa. Namanya Satelit Lampung-1, sebuah proyek yang bagi sebagian orang mungkin terdengar ambisius, tapi bagi Provinsi Lampung, inilah langkah nyata menuju peradaban baru.

    (Lontar.co): Ide besar ini bukan sekadar bualan, ini adalah tekad. Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, Rabu (28/5/2025) lalu menandatangani kerja sama strategis di Shandong, Tiongkok. Negara dengan kekuatan teknologi luar angkasa yang tak bisa dipandang remeh. Lewat kemitraan itu, Satelit Lampung-1 akan diluncurkan dari perairan internasional dan akan beroperasi untuk mendukung berbagai sektor strategis di Lampung. Sebuah kebijakan yang tak cuma berani, tapi juga berpandangan jauh.

    Lampung mungkin bukan provinsi pertama yang melirik teknologi satelit, tapi keberanian untuk mewujudkannya patut dihargai. Karena ini bukan hanya soal gengsi punya satelit sendiri. Ini soal membuka jalan bagi petani di pelosok agar tahu cuaca esok hari, soal sekolah-sekolah di pegunungan yang bisa menikmati sinyal internet tanpa harus kesulitan, dan soal bagaimana rumah sakit kecil bisa terhubung dengan pusat layanan di kota besar lewat jaringan yang stabil.

    Dampaknya bisa terasa luas. Data satelit akan membantu pemerintah memetakan wilayah rawan bencana, memantau aktivitas pertanian, hingga melihat perubahan tutupan hutan secara real time. Belum lagi soal digitalisasi desa, program pembelajaran jarak jauh, hingga dorongan terhadap pertumbuhan UMKM berbasis online. Satelit ini ibarat jembatan yang menyambungkan mimpi dengan kenyataan.

    “Bahkan satelit ini bisa dipakai untuk menghitung jumlah kendaraan, jumlah petani, hingga jumlah bangunan,” kata Gubernur Mirza.

    Ada yang bilang mimpi seperti ini terlalu tinggi. Tapi bukankah setiap kemajuan selalu dimulai dari angan yang tak masuk akal bagi zamannya? Dulu mungkin tak ada yang percaya bahwa sinyal dari langit bisa menyapa dusun di pinggir Way Kanan. Tapi kini, harapan itu mengorbit, secara harfiah.

    Bagi Gubernur Mirza, ini bukan sekadar soal teknologi. Ini tentang keadilan, bahwa di era sekarang, keterhubungan bukan lagi kemewahan, tetapi hak. Bahwa anak-anak di Tanggamus atau Mesuji punya hak yang sama untuk belajar daring sebagaimana anak-anak di kota. Bahwa informasi dan peluang harus sampai ke mana pun, tanpa mengenal batasan geografi.

    Ini baru awal, Satelit Lampung-1 adalah pijakan pertama. Di masa depan, siapa tahu, Lampung bisa jadi pionir dalam pemanfaatan teknologi luar angkasa di tingkat lokal. Bisa jadi pusat inovasi, tempat anak muda membangun startup agritech, edutech, atau teknologi berbasis data dari kampung halaman sendiri, bukan lagi harus merantau ke Jakarta atau luar negeri.

    Mimpi yang Lebih Dulu Mengudara di Tempat Lain

    Tentu, Lampung bukan satu-satunya daerah yang memimpikan konektivitas langit sebagai solusi dari keterbatasan di bumi. Di belahan lain Indonesia, beberapa wilayah juga pernah bermimpi serupa, walau bentuknya belum sampai pada tahapan ‘memiliki satelit sendiri’, seperti yang kini diperjuangkan Lampung.

    Pada 2020 lalu, misalnya, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 2018–2023, Viktor Bungtilu Laiskodat sempat menyatakan niat besar untuk meluncurkan satelit mini milik NTT. Rencana itu digadang-gadang akan menjadikan NTT sebagai provinsi pertama yang punya satelit sendiri, sebagai jawaban atas persoalan sinyal dan komunikasi di wilayah kepulauan mereka. Namun, sejak pernyataan tersebut mengemuka, belum terdengar lagi gaung keberlanjutannya. Mimpi itu seperti tertahan awan tebal, belum sempat mengorbit.

    Sementara itu, di Provinsi Kepulauan Riau, upaya memperkuat konektivitas digital diwujudkan dengan dukungan terhadap program nasional Satelit Republik Indonesia (SATRIA-1). Provinsi ini dipilih sebagai lokasi stasiun bumi untuk satelit milik pemerintah pusat, yang bertujuan menjangkau wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Meskipun tidak punya satelit sendiri, peran aktif ini tetap menjadi bagian penting dari ekosistem digitalisasi nasional.

    Namun yang menarik, Lampung memilih jalan berbeda. Bukan sekadar menjadi tuan rumah bagi jaringan nasional, melainkan merintis sendiri jalur ke orbit. Jika peluncuran Satelit Lampung-1 ini benar-benar terjadi dan satelit itu beroperasi sesuai rencana, maka Bumi Ruwa Jurai akan tercatat dalam sejarah sebagai provinsi pertama di Indonesia yang secara mandiri memiliki dan mengelola satelit daerah. (*)