Tag: dedi mulyadi

  • kdm

    Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi kini menjelma sebagai sosok yang dianggap ‘suci’, dengan pengikutnya yang luber dimana-mana. Fenomena Kang Dedi Mulyadi (KDM) yang menjadi bapak buat semua orang (Bapak Aing) merambah bahkan hingga melintasi banyak pulau. Ia dianggap sebagai anomali ditengah kegamangan pemerintah kini. Tapi, sejatinya kita memang tak pernah mau belajar dari pengalaman. Seperti ketika 10 tahun lalu, saat semua orang terlanjur menganggap pria asal Solo sebagai sosok Satrio Piningit. 

    (Lontar.co): Rocky Gerung enteng saja menyebut fenomena Kang Dedi Mulyadi sebagai Mulyono Jilid II. 

    Ia lugas menyebut, KDM dan Jokowi adalah satu karakter yang sama, yang mencoba membangun simpati lewat blusukan—istilah yang dulu amat melekat dengan Jokowi. Dan, masyarakat kita mudah terbuai dengan semua yang berbau simpati dan heroisme semu. 

    Dedi Mulyadi sedang membangun konstruksi dengan tujuan yang secara kasat amat gamblang, puncak dari pucuk negeri ini nanti. Semua yang mengerti alurnya, pasti mafhum, dan begitulah cara ideal negeri ini memilih pemimpinnya. 

    Bahkan, Rocky mendekonstruksi KDM sebagai King Dedi Mulyono, yang terus membangun popularitasnya melalui intensitasnya yang tinggi, dengan jeli memainkan algoritma di media sosial. 

    Seperti Jokowi, KDM membangun citranya sebagai figur sederhana, yang dekat dengan rakyat bawah dan papa. Karakter keduanya amat spesifik, baju putih dan amat lebur. 

    KDM nyaris disandingkan sebagai wali tuhan, yang diutus untuk mereka-mereka yang tersisih meski secara jumlah,  mereka adalah mayoritas. 

    Dari situ, algoritma kemudian bekerja pasti. Pengikut datang dengan sendirinya, bagai cendawan yang meranggas di musim hujan. Ia lihai memanfaatkan situasi. 

    KDM dikultuskan. Siapapun yang mengkritiknya dianggap sebagai musuh bersama. 

    Setiap ‘konten’ tentang kesederhanaan KDM, dan bagaimana ia memperlakukan mereka yang tersisih sebagai entitas dengan patut, maka pengikutnya akan serta merta menganggapnya sebagai sebuah pencerah. 

    KDM benar-benar tanpa cacat. Tak ada minor sedikitpun. Jejak masa lalunya, yang kontrapositif terkikis, terbenam dalam tumpukan ratusan konten baik yang berpuluh-puluh jumlahnya dan disantap dengan penuh haru oleh pengikutnya. 

    Rocky Gerung menyebut masyarakat kita, khususnya mereka para pengikut Bapak Aing, sebagai kelompok besar yang cenderung menyukai sesuatu yang dangkal. 

    KDM adalah komoditas untuk mereka yang terlanjur menyukai semua yang dangkal. Ia semata menjual visualisasi bukan visi sesungguhnya. 

    Ini sama persis dengan teori kritis dari Marxis, yang ditulis Guy Debord (1867) dalam buku The Society of the Specteacle. Visualitas mampu dan efektif mengubur dalam-dalam sebuah visi, sebagaimana idealnya seorang pemimpin. 

    Nostalgic Masa Lalu 

    Sepuluh tahun lalu, apa yang dilakukan Dedi Mulyadi kini, adalah upaya membangun citra yang dilakukan Jokowi. 

    Tapi, saat di Solo, sebenarnya Jokowi masih amat murni. Ia lugu, yang ia jual adalah visi bukan visualitas. 

    Bagaimana ia sukses membangun konsep merelokasi pedagang tanpa kekerasan di Pasar Notoharjo, adalah serpihan-serpihan yang kemudian membuka ruang mereka yang berkepentingan untuk memunculkan sosok baru, agar Indonesia tak melulu didominasi mereka yang itu-itu saja. 

    Sejak ia ditunggangi kepentingan orang lain, maka visualitas mulai dominan. 

    Jokowi disiapkan secara matang. Karakternya dimunculkan, disebar kemana-mana, tapi dulu, instrumen yang digunakan adalah media, sebagai alat yang meng-influens khalayak, dan berhasil. 

    Kita terbius dengan sosok Jokowi. Ia dengan cepat menjadi candu. Saat arus kerinduan akan sosok sudah mulai merasuk, pemilik kepentingan terus menabuh gendang tanpa henti, agar tidak ada jeda, agar pula tak ada karakter lain yang menyainginya. 

    Tabuhan gendang yang membuai publik itu sukses mengantarkan Jokowi ke Jakarta. Gayanya yang sederhana kadung melekat dan dekat dengan rakyat, nyaris tak bersekat. 

    Ia landing dengan mulus di Jakarta. Dengan rakyat ia dicintai, dengan petinggi partai, ia juga disukai, lengkap sudah. 

    Melalui visualitas, Jokowi pulalah yang menjadi orang pertama, membawa kiblat baru bernama blusukan. 

    Setiap hari, ia keluar masuk tempat-tempat yang identik dengan rakyat jelata, berbincang. Dan seolah, ia merasakan betul penderitaan yang dialami mereka. 

    Sampai di titik itu, kita masih belum sadar. Kita bahkan, membuang jauh-jauh motif orang-orang yang berkepentingan di sekitar Jokowi. 

    Maka ketika ia maju menjadi sosok calon presiden, secara tak sadar pula kita seperti dipaksa mencocokan sosok satria piningit dengan Jokowi. Sementara, seterunya tak bisa bergerak, hanya diam tersuruk di sudut, dan kita menang bersama apa yang kita yakini sebagai sebuah pesan pembaruan melalui embel-embel kesederhanaan, merakyat hingga blusukannya, sebagaimana jargon yang (dipaksa) disematkan; Jokowi adalah kita. 

    Saat Jokowi melenggang di level yang lebih tinggi, publik (Jawa Barat) kembali dibuai dengan kehadiran Ridwan Kamil. 

    Tapi, Ridwan Kamil berbeda. Ia tak membawa pesan kesederhanaan, melainkan konsep modernitas ala milenial. Pada titik ini, masyarakat Jawa Barat, hampir saja bermain dengan nalar dan daya kritisnya, karena RK membungkus citranya dengan dua kemampuan sekaligus, visi dan visualitas.  

    Dimulai dari Bandung, RK merancang semuanya. Backgroundnya menunjang itu semua. Ia bangun konstruksi modern yang dekat dengan milenial, sebagai komunitas yang paling efektif untuk membangun pengaruh dan citra. 

    Sosoknya dibanggakan. Dicitrakan sebagai pemimpin yang visioner, dan banyak lainnya. 

    Dari situ RK menjadi amat mudah melangkah tanpa hambatan menuju Gedung Sate. Lucunya, RK pernah saling bersaing bersama Kang Dedi. Tapi, KDM kalah. 

    Tak lupa, ia juga membangun proyek-proyek monumental di Jabar, seperti Masjid Al-Jabbar hingga creative center. 

    Setelah beruntung berkali-kali di Jabar, RK terhenti di Jakarta. Padahal, proyeknya kala itu adalah RI 2, tapi luput, DKI 1 saja tak sukses. 

    Setelahnya, karakter Ridwan Kamil nyaris karam. Borok korupsinya terkuak, skandalnya dengan seorang perempuan juga terbongkar. 

    Pun dengan Jokowi. Ia jadi bulan-bulanan oleh mereka-mereka yang dulu mengelukannya.  

    Ia dianggap gagal sebagai satrio piningit, bahkan tudingan merembet hingga ke ijazahnya yang disebut palsu. 

    Dua pengalaman itu pula yang dikhawatirkan akan terjadi pada KDM, Si Bapak Aing.  

    Tapi, sejatinya semua yang visualitas itu, pada akhirnya punya kepentingan. 

    Entah ia sedang bersiap (sendiri) atau disiapkan oleh orang lain. Karena, Kang Dedi adalah entitas yang bekerja melalui alur. Secara hierarki, ia adalah bawahan Prabowo. Di pemerintahan, Kang Dedi juga bawahan Prabowo. Demikian pula di partai, strukturnya juga di bawah Prabowo. 

    Jadi, segarang apapun seorang Dedi, ia adalah ‘orangnya’ Prabowo, sehingga amat mungkin tendensi yang muncul adalah Kang Dedi memang sedang ‘disiapkan’. 

    Ia tak mungkin melawan segala kebijakan Prabowo sebagai presiden. Lihat saja, beberapa kebijakannya yang kontroversial tak pernah memantik Prabowo untuk bersuara apalagi menegur, termasuk dari orang-orang dekat Prabowo. 

    Saat kebijakannya membentuk satgas anti premanisme, ia dibenturkan dengan ormas Grib, Prabowo dan orang-orangnya pun tak berusaha menengahi KDM dan Hercules, hanya publik yang terus berpolemik, dengan terus menempatkan Kang Dedi sebagai sosok ksatrianya. 

    Kemungkinan, isu memang sedang dimainkan, dihembuskan, untuk mengukur seberapa besar daya tawar Dedi Mulyadi untuk 2029, karena ini soal elektabilitas. 

    Ia bisa saja tengah disiapkan sebagai pendamping atau pengganti Prabowo dan amat kecil peluangnya untuk melawan dan berseberangan dengan Prabowo. 

    Prabowo tentu akan maju kembali di Pilpres 2029, tapi potensi ia akan berpisah dengan Gibran amat mungkin terjadi, sehingga memang harus disiapkan sosok yang ‘idealnya’ dielu-elukan dan dimunculkan oleh rakyat, seperti KDM. 

    Sehingga, terkadang kontroversi pernyataan-pernyataan Rocky Gerung kerap kali juga mengandung kebenaran, seperti; pembuat hoax terbaik adalah penguasa, melalui instrumen intelijen dan data statistik yang dimiliki oleh penguasa. 

    Jadi, jangan pernah menilai sesuatu dari sampulnya semata. Visualitas kebanyakan semu. Ia jauh berbeda dengan visi, sehingga agar tak jatuh ke lubang yang sama puluhan kali, kita mulai perlu melihat segala sesuatunya dengan komprehensif.