Tag: ChatGPT


  • JAM dinding menunjukkan pukul 02.30 WIB. Orang-orang mungkin sudah terlelap dibuai mimpi. Tapi saya belum. Mata saya malah lekat pada layar handphone, membaca satu tulisan dari awal hingga akhir, berulang-ulang.

    Apa yang saya baca? sebuah artikel berjudul “Disrupsi AI, Penolong Sekaligus Menyimpan Bom Waktu”, ditulis oleh Hendri Std, Pemimpin Umum media lontar.co

    Tulisan itu menghantam pikiran. Pelan-pelan, dalam. Tak langsung meledak, masih tertahan hingga mata ini terpejam dan matahari sudah menyinari sinarnya.

    Pagi pun tiba, isi tulisan itu masih merayap di dalam pikiran. Barangkali karena apa yang ada di pikiran selama ini, ternyata telah lebih dulu dituliskan dengan jujur, menggunakan perasaan, dengan keresahan yang sama.

    Sebagai seorang jurnalis, menulis itu perkara tanggung jawab. Apalagi saat menyentuh isu-isu sensitive seperti kebijakan publik yang bertolak belakang dengan realita di lapangan, atau kegelisahan sosial yang menuntut klarifikasi dari pihak berwenang. Di situlah pentingnya konfirmasi, verifikasi melalui rasa dan kejujuran.

    Tulisan yang lahir dari hati, melalui proses panjang, tak akan bisa dibohongi oleh penulisnya sendiri. Ada bekas yang tertinggal, napas yang terasa dan rasa.

    Jika selama ini wawancara dengan manusia sering dilakukan. Kali ini ada sesuatu hal yang lain. Mewawancarai mesin. Sebuah kecerdasan buatan bernama ChatGPT, dikembangkan oleh OpenAI.

    AI ini sudah dikenal luas. Ia membantu para pelajar, pekerja, konten kreator, akademisi, semua merasa terbantu. Tapi di balik segala manfaat itu, pertanyaan mulai menyelimuti pikiran, apakah kehadirannya turut meruntuhkan kualitas seorang penulis?.

    Ada jejak yang ditinggalkan AI dalam tulisan. Dan itu tak sulit dikenali. Tulisan yang terlalu rapi, terlalu cepat matang. Seperti makanan instan, mengenyangkan, tapi tak mendapatkan kenikmatan rasa.

    Salah satu penanda itu adalah garis panjang di tengah kalimat, Em Dash (—). Jika diperhatikan, karakter ini berbeda dari En Dash (-) yang biasanya muncul di Microsoft Word.

    Saya: Jelaskan, kenapa adanya perbedaan antara Em dash (—) karakter dari Anda, dengan En dash (-) karakter Microsoft Word.

    ChatGPT: Betul sekali! Em dash (—) biasanya saya gunakan otomatis sebagai tanda jeda yang lebih panjang dan dramatis dalam kalimat. Ini karakter Unicode yang berbeda dan lebih panjang dari en dash.

    En dash (–) itu yang biasa dipakai Microsoft Word untuk garis tengah yang lebih pendek, sering dipakai untuk rentang angka (misal: 1990–2000) atau sebagai pengganti tanda hubung yang sedikit lebih panjang dari tanda minus biasa.

    Karakter ini memang sering jadi pembeda format teks. Em dash punya panjang sekitar dua kali En dash, dan biasanya tidak ada spasi di sekitarnya. En dash sedikit lebih pendek.

    Jadi kalau Anda lihat teks dengan garis tengah yang sangat panjang dan tanpa spasi, besar kemungkinan itu Em dash dari AI seperti saya.

    Seperti itulah jawaban dari mesin pabrikan ChatGPT. En dash, si garis pendek yang rapi itu lebih sering lahir dari tangan manusia, dari lembar kerja Word.

    Tapi Em dash? Ia seperti penampakan asing. Panjang, terlalu aneh untuk disebut kebetulan. Tanda baca ini tidak datang dari halaman putih bernama word, tapi dari si pintar.

    Dan itu baru satu jejak, sisanya akan menyusul, satu per satu. Karena kemampuan si pintar ini bukan saja pandai merangkai kata. Tetapi mampu mengubah kata menjadi sebuah visualisasi.

    Dari tulisan Hendri Std, entah mengapa, seperti peringatan dini, dari seorang penulis kepada generasi tergesa-gesa.

    Zaman memang sudah berubah. Kita tidak bisa membendung gelombang tinggi teknologi salah satunya ChatGPT. Tapi kita masih bisa memilah, merenung, dan memilih jalan penulisan yang tetap setia pada hati.

    Karena pembaca yang jeli pasti tahu, mana karya yang datang dari prompt, dan mana yang lahir dari hati disampaikan melalui rasa.

    Imajinasi buatan pabrik tak sama rasanya dengan imajinasi manusia yang berproses. (*)