Tag: budi arie

  • bahlil

    Menkeu merilis aturan perjalanan dinas ASN dalam Permenkeu Nomor 32 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2026. Disana disebutkan, biaya perjalanan dinas dalam negeri untuk pejabat negara, wamen dan pejabat eselon 1 maksimal Rp9,3 juta per malam. Selain itu, biaya makan dan kendaraan dinas para pelayan rakyat ini juga melonjak. Lantas, dimana efisiensi itu? 

    (Lontar.co): Ketua Bawaslu Bandarlampung periode sebelumnya, Candrawansah langsung mengultimatum Panwascam Tanjungkarang Pusat dan Kedaton untuk segera mengumpulkan data terkait Mendag Zulkifli Hasan yang diduga kampanye meski kapasitas kunjungannya  ke Lampung saat itu adalah sebagai pejabat negara. 

    “Saya minta teman-teman di Panwaslu Tanjungkarang Pusat dan Kedaton segera kumpulkan data, keterangan dan bukti-bukti,” kata Candrawansah di whatsapp grup internal Bawaslu Bandarlampung, kala itu (7/1/2023). 

    Kurang dari sejam, data hingga bukti lengkap terkumpul. Indikasi Zulhas melanggar kampanye menguat. Saat berkunjung ke Lampung, kapasitasnya adalah pejabat negara (Menteri Perdagangan), namun ia turut pula mempromosikan anaknya, Futri Zulya Savitri yang maju DPR RI dari Dapil Lampung. 

    “Waktu itu, kita punya bukti foto pembagian minyak goreng dan rekaman dari pihak terkait. Memang ada indikasi pelanggaran pemilu,” kata Candrawansah. 

    Namun, Bawaslu Bandarlampung kesulitan memeriksa Ketum PAN itu, karena Zulhas ‘keburu’ pulang ke Jakarta. Kasusnya menguap. 

    Zulhas ibarat sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Kunjungannya sebagai menteri gratis karena dibiayai negara, ia juga bisa sekaligus mempromosikan anaknya yang belakangan lolos ke Senayan. 

    Pengamat politik Ujang Komarudin menilai dalam kasus Zulhas ini ada unsur konflik kepentingan. 

    “Kunjungannya dalam kapasitas sebagai menteri, dan melekat, Menteri itu bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara bukan keluarga”. 

    Kini, para pembantu presiden yang jumlahnya hingga 109 orang itu juga makin ‘istimewa’, karena Menteri Keuangan Sri Mulyani baru saja menaikkan anggaran sewa hotel, mobil dinas dan biaya makan para pejabat negara, wamen dan eselon 1 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2026 

    Dalam beleid yang telah diundangkan pada 20 Mei 2025, Sri Mulyani menetapkan biaya penginapan perjalanan dinas di dalam negeri di rentang Rp2,14-9,3 juta per malam untuk pejabat negara, wakil menteri dan pejabat eselon I. 

    Rentang maksimal tarif hotel untuk pejabat negara, wakil menteri dan pejabat eselon I ini mengalami kenaikan dari yang ditetapkan dalam PMK Nomor 39 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2025 senilai Rp8,72 juta per malam. Sementara batas bawah tarif hotel untuk perjalanan dinas dalam negeri tak berubah dari beleid sebelumnya. 

    Batas atas sewa hotel untuk pejabat-oejabat negara itu bahkan mencapai 3 kali lipat lebih jika dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) Lampung 2025 yang hanya Rp2,8 jutaan. 

    Kenaikan uang sewa hotel ini juga semakin menambah pundi-pundi pendapatan dan fasilitas ‘resmi’ para pejabat negara itu, selain gaji dan tunjangan buat mereka. 

    Seperti diketahui, gaji dan tunjangan menteri diatur melalui Peraturan Pemerintah No.75 tahun 2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara serta Uang Kehormatan Anggota Lembaga Tertinggi Negara. 

    Aturan ini juga masih dilapisi dengan Keputusan Presiden RI Nomor 68 tahun 2001. 

    Dalam dua aturan ini, gaji pokok menteri sebesar Rp5.040.000 per bulan, sedangkan tunjangan Rp13.608.000 per bulan, atau total gaji menteri Rp18.648.000 per bulan. 

    Sedangkan gaji wamen, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.176/MK. 02/2015 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Wakil Menteri. 

    Merujuk aturan ini, wakil menteri berhak diberikan 85% dari tunjangan jabatan menteri. 

    Jika tunjangan menteri Rp13.608.000, maka jumlah hak uang tunjangan yang diterima wakil menteri Rp11.566.800 per bulan. 

    Menteri dan wakilnya juga berhak atas fasilitas kendaraan dinas, rumah jabatan, dan asuransi kesehatan, yang semuanya ikut naik. 

    Ternyata aksi foya-foya tak hanya pada sewa hotel saja, Sri Mulyani juga memanjakan pejabat-pejabat yang setingkat eselon 1 ini dengan menaikkan pula biaya pengadaan mobil dinasnya, menjadi Rp931, 64 juta per unit per menteri. 

    Angka pengadaan mobil dinas bakal melambung, jika menteri-menteri ini memilih mobil dinas listrik, maka biayanya naik menjadi sebesar Rp 1 miliar per unit.  

    Selanjutnya, jika wakil menteri tak punya rumah jabatan, maka ia berhak memperoleh Rp35.000.000 per bulan untuk tunjangan perumahan. 

    Tapi selain gaji, tunjangan dan segala tetek bengek fasilitasnya, menteri dan wamen juga diberikan dana operasional yang nilainya hingga ratusan juta. 

    Berdasarkan pagu, anggaran dana operasional menteri tiap bulannya bervariasi, rentang angkanya mulai dari Rp100 juta – Rp150 juta. 

    Tak hanya tunjangan sewa hotel dan pengadaan randis yang naik, Sri Mulyani juga ‘memanjakan’ para pejabat negara dengan menaikkan biaya konsumsi rapat sebesar Rp171 ribu per orang untuk sekali rapat. 

    Jumlah tersebut terdiri dari biaya makan untuk sekali rakor, senilai Rp118 ribu per orang, dan biaya kudapan atau snack Rp53 ribu per orang. 

    Kebijakan Sri Mulyani ini jelas menimbulkan pro kontra, karena kenaikan uang makan rapat pejabat negara itu dianggap tak memiliki urgensi sama sekali. Apalagi, jika dibandingkan dengan biaya Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk tiap siswa yang hanya Rp15 ribu per orang. 

    Selain itu, biaya konsumsi rapat pejabat negara ini juga berlipat-lipat melebihi pengeluaran per kapita untuk makanan sebagian besar masyarakat Indonesia yang tercatat hanya sebesar Rp751.789 per bulan, dengan asumsi rata-rata pengeluaran untuk makanan adalah sebesar Rp25 ribu per hari. 

    Apalagi, banyak pos-pos anggaran seperti untuk perbaikan jalan yang dipangkas karena alasan efisiensi. 

    Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani misalnya, dalam RDP dengan Komisi II DPR RI akhir April lalu mengeluhkan keterbatasan anggaran menghambat upaya Pemprov Lampung untuk melakukan perbaikan infrastruktur, utamanya jalan. 

    Jalan rusak di Lampung, menurutnya, sudah terjadi selama bertahun-tahun, sementara upaya perbaikannya tidak sebanding dengan tingkat kerusakan jalan yang terus terjadi di Lampung. 

    Postur anggaran pembangunan yang sudah minim akibat efisiensi itu, masih juga harus dibagi dua dengan anggaran belanja pegawai yang angkanya menguras hampir 80 persen APBD daerah. 

    Contohnya, total belanja Provinsi Lampung sesuai alokasi adalah Rp7,5 triliun, tapi yang bisa digunakan untuk belanja modal termasuk perbaikan jalan hanya Rp1,2 triliun, angka itu untuk memperbaiki sejumlah ruas jalan di Lampung, yang rata-rata dibutuhkan minimal Rp70 juta untuk perbaikan jalan per satu kilometernya. Sementara, ada sekitar 63 persen lebih jalan rusak di Lampung, dari total panjang jalan di Lampung seluas 19.463,63 kilometer. 

    Ketimpangan anggaran daerah untuk memperbaiki infrastruktur dengan besarnya tunjangan pejabat negeri itu, masih belum seberapa jika ditambah dengan kondisi perekonomian yang terus melesu. 

    Banyak perusahaan yang gulung tikar, UMKM yang lesu hingga berimbas ke PHK massal yang tak sebanding dengan jumlah lapangan kerja, berdampak pula pada lesunya perekonomian yang merata di seluruh Indonesia. 

    Akibatnya, deflasi terjadi. Jumlah uang yang beredar menurun secara drastis. Yang miskin tambah terpuruk, yang kaya memilih menumpuk uangnya. 

    Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Media Wahyudi Askar secara tegas menyebut efisiensi anggaran yang didengungkan pemerintah hanya sekedar lips service. 

    “Efisiensi itu kan menyasar anggaran-anggaran keuangan pemerintah yang kurang produktif, dan bukan juga penghembatan di hilir atau di level staf sementara pejabat tingginya bermewah-mewahan dengan beragam fasilitas dan tunjangan,” kata Wahyudi. 

    Ia juga menilai pos-pos anggaran untuk sewa hotel, pengadaan randis hingga biaya makan menteri ini sudah selayaknya masuk dalam kategori prioritas efisiensi bukannya malah dinaikkan. 

    Sudah diselimuti dengan segala kemewahan, ada pula menteri yang menyelewengkan dana operasional menteri yang nilainya ratusan juta perbulan. Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik adalah contohnya. 

    Jero dipidana karena terbukti melakukan tiga tindak pidana korupsi. Pertama, Jero dinilai terbukti menyelewengkan dana operasional menteri (DOM) untuk kepentingan pribadi dan keluarganya sejumlah Rp8,408 miliar saat menjabat Menteri Budaya dan Pariwisata (Menbudpar). 

    Tak hanya rentan diselewengkan dan dikorup. Menteri yang sudah dimanja dengan gaji dan tunjangan yang berlipat-lipat hingga dana operasional menteri yang nilainya ratusan juta per bulan, malah terkadang bekerja asal-asalan. 

    Nama-nama menteri di kabinet Prabowo, seperti Menteri Budi Arie, Maruarar Sirait hingga Bahlil adalah tiga orang menteri yang kerjanya dianggap ‘main-main’ padahal gajinya ‘tak main-main’. 

    Terbaru, Menteri ESDM Bahlil memicu kontroversi dengan dibukanya tambang nikel di Kepulauan Raja Ampat. Ia berlindung dibalik penerbitan IUP yang dibuat jauh sebelum ia menjabat, padahal kementeriannya punya kuasa untuk menghentikan izinnya, tapi tak dilakukan. 

    Menteri yang punya banyak kontroversi ini memang kerap kali bikin banyak kebijakan aneh yang menyulitkan rakyat. Sebut saja penghapusan pengecer gas elpiji 3 kilogram, jual beli izin tambang hingga kontroversi pribadinya soal status doktoralnya di UI. 

    Tak ubahnya Bahlil, Budi Arie juga kerap bikin kontroversi, meski sudah tersandung kasus peretasan dan judi online saat ia menjabat Menkominfo, orang ini tetap jadi menteri lagi, meski tanpa prestasi. 

    Jika semua menteri seperti Bahlil pun Budi Arie ini terus dimanjakan dan dilayani dengan fasilitas serba mewah, maka berat rasanya membayar pajak untuk menggaji mereka-mereka yang kerjanya sebenarnya tak ada kerjaan itu.