Tag: auditor

  • predikat WTP

    Pemkot Bandarlampung kembali mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sebelumnya, Pemprov Lampung juga mendapat predikat yang sama untuk ke-11 kalinya, demikian pula dengan kabupaten lain; Lamtim, Lambar dan Lamsel. Faktanya, tak sedikit daerah yang meraih WTP tapi kepala daerahnya malah terjerat korupsi. Sudahlah cuma buat formalitas saja, masih pula ada praktik jual beli predikat WTP. Lantas, seberapa relevan predikat WTP ditengah kian jamaknya kasus korupsi. 

    (Lontar.co): Foto memang tak bisa berbohong. Gurat-gurat kegembiraan terlihat jelas di wajah Walikota Bandarlampung, Eva Dwiana saat menerima predikat WTP dari BPK. 

    Agar tak terlihat mendominasi, Eva menyebut capaian ini adalah hasil kerja kolektif, pemerintah dan masyarakat. 

    Sebelumnya, Pemprov Lampung juga memperoleh predikat WTP untuk yang ke-11 kalinya bahkan. Artinya, selama 11 tahun terakhir, Pemprov Lampung dianggap (oleh BPK) memiliki reputasi pengelolaan anggaran yang baik. 

    Ada pula kabupaten Lamtim, Lamsel dan Lambar yang juga pamer opini WTP dari BPK. 

    Tapi,  jika ditelaah, pemberian predikat ini sebenarnya hanyalah bagian dari formalitas semata, terkadang malah lebih condong ke prestise saja, predikat WTP juga kabarnya bisa ‘ditukar’ dengan tambahan dana insentif dari pusat. 

    Predikat WTP yang diberikan kepada daerah, tak lantas mencerminkan baiknya kinerja pengelolaan anggaran pemerintah yang menerimanya, melalui embel-embel good governance. 

    Berkaca pada pengelolaan anggaran yang dilakukan Pemkot Bandarlampung selama ini contohnya, beberapa bahkan ada yang mendapat reaksi dari masyarakat, seperti pembangunan JPO Siger Milenial, Tugu Pagoda yang dianggap tak mencerminkan kebutuhan warga kota, tapi hal-hal seperti ini tak masuk dalam kriteria penilaian BPK ketika menilai pengelolaan anggaran sudah wajar atau tidak, jika mengacu pada skala prioritas penggunaan anggaran. 

    Indikatornya, disaat masih banyaknya jalan rusak yang perlu dibenahi segera dan banjir yang terus melanda sejumlah wilayah di Bandarlampung, akan lebih ideal  porsi anggarannya harus ditempatkan pada kebutuhan yang mendesak dan wajib mendapat prioritas ketimbang membangun proyek-proyek mercusuar yang (kurang) berguna, BPK seharusnya menjadi kelompok penekan, apalagi namanya saja sudah auditor, tukang audit yang (seharusnya) punya kuasa untuk memeriksa keuangan lembaga mulai dari kementerian, lembaga hingga pemerintah di daerah. 

    Jika pakai indikator skala prioritas pula, jelas predikat WTP hanya sebatas baik tidaknya penyampaian laporan keuangan dari pemerintah daerah ke BPK, bukan tentang pemanfaatan anggaran yang berpihak dan sesuai kebutuhan masyarakat. 

    Ini berarti bahwa predikat Wajar Tanpa Pengecualian tidak bicara soal efektivitas pemanfaatan anggaran berdasar skala prioritas, mendahulukan kebutuhan dan kepentingan rakyat, dan tidak bicara prestise sebagai legasi seorang pemimpin. 

    WTP pada gilirannya hanya memiliki titik tekan tentang proses pelaporan yang wajar, bukan realisasi apalagi dampak dari penggunaan anggaran yang telah direalisasikan oleh pemerintah punya implikasi positif untuk masyarakat, serta jauh pula dari pengawasan auditor BPK. 

    Dan, dari berbagai jenjang predikat yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini pula, pada akhirnya kita tahu, bahwa BPK bukanlah lembaga ‘super’ yang bisa mengetahui dan (ingin tahu) seberapa efektif anggaran itu digunakan oleh tiap pemerintah di daerah, termasuk mengukur seberapa besar manfaat realisasi anggaran itu untuk masyarakat, melainkan hanya sekedar menerima laporan keuangan semata. 

    Karena, sistematika suatu daerah layak mendapat predikat WTP hanyalah diukur dari proses penyajian laporan keuangan yang disampaikan sudah sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), soal fakta di lapangan itu urusan nomor sekian.  

    Pemberian predikat WTP sebatas pada wajar atau tidaknya laporan, bukti kuitansi dan nota pembelanjaan dilampirkan, dan selesai.  

    Sanksinya, hanyalah perbaikan laporan yang telah disampaikan, itu saja dan selesai.  

    Apalagi jika merujuk pada aturan BPK soal pemberian predikat, kriteria pemberian predikat hanya mengacu pada kesesuaian standar akuntasi pemerintahan, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan dan efektivitas sistem pengendalian intern (SPI). 

    Badan Pemeriksa Keuangan bahkan menyampaikan predikat kewajaran yang diberikan bukan menjadi dasar kebenaran dari tiap transaksi pengelolaan anggaran keuangan tiap daerah. Itu berarti, masih banyak masalah baik dalam hal implementasi kebijakan maupun kualitas pelayanan terhadap publik atau bahkan potensi adanya penyimpangan pengelolaan anggaran yang tak bisa di deteksi oleh BPK itu sendiri. 

    Predikat WTP = Bonus Dana DID 

    Fakta lain, selain mengejar prestise, ada tujuan ‘tersembunyi’ dari kepala-kepala daerah yang sibuk mengejar opini WTP. Mereka tak lagi memikirkan proses pengelolaan anggaran yang akuntabel dan transparan, melainkan mengejar predikat WTP untuk bisa menjolok bonus Dana Insentif Daerah (DID). 

    Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) sudah mengendus ini sejak lama. 

    Selain mengejar citra, tiap kepala daerah juga punya motif mengejar predikat WTP agar bisa mendapat tambahan dana insentif. 

    Sekjen FITRA, Misbah Hasan pernah mengungkap hal ini,”selain membangun citra, kepala daerah juga ingin mengejar tambahan dana insentif daerah dari pemerintah pusat,” ujar Misbah. 

    Tambahan insentif ini jelas dibutuhkan, apalagi di masa sekarang, saat efisiensi terus dihembuskan oleh pemerintah pusat, banyak anggaran di daerah yang dipangkas. 

    Dengan minimnya anggaran daerah, kepala-kepala daerah tak bisa ‘luwes’ bergerak, maka segala cara dilakukan agar anggaran dari pusat bisa turun, salah satunya melalui jalan predikat WTP ini. 

    “Dana insentif untuk daerah itu hanya diberikan untuk daerah yang punya inovasi, jadi syaratnya bukan cuma predikat WTP saja,” tambah Misbah. 

    Jual Beli Predikat WTP 

    Hasil (monopoli) laporan sepihak, yang sepenuhnya berdasarkan laporan pemerintah tiap daerah dan tanpa adanya pengawasan maupun verifikasi komprehensif dari BPK, membuat laporan keuangan yang disampaikan hanyalah bagian dari rutinitas formal semata, dan itu berlangsung terus-menerus selama puluhan tahun sebagai praktik pemborosan anggaran sekaligus membuat praktik korupsi merajalela. 

    Karena, ada begitu banyak celah lebar pemberian predikat WTP kepada kepala daerah oleh auditor BPK, tanpa harus repot menyampaikan laporan remeh-temeh demi sebuah piagam bertajuk WTP dari BPK sekaligus tambahan dana insentif, maka teori supply and demand pun berlaku di ‘pasar’ predikat WTP. 

    ‘Hausnya’ kepala daerah akan predikat ini yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum auditor untuk ‘menjual’ predikat atau opini. 

    Beberapa waktu lalu, praktik transaksional opini WTP ini terkuak di persidangan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.  

    Dihadapan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Sesditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Hermanto mengungkap adanya permintaan dana dari Kepala Subauditorat pada Auditorat Utama Keuangan Negara IV BPK, Victor Daniel Siahaan yang angkanya sangat fantastis, Rp12 M!. 

    Uang puluhan miliar itu menjadi ‘imbalan’ agar Kementan tetap mendapatkan predikat WTP, meski pada saat itu BPK menemukan adanya penyimpangan dalam proyek food estate. 

    Tapi, Hermanto mengaku baru memberikan Rp5 miliar ke Victor untuk menebus predikat WTP, dan benar saja, meski uang yang diberikan masih kurang Rp7 miliar, namun saat itu Kementan tetap meraih predikat WTP. 

    Dihadapan hakim, Hermanto bahkan menyebut jika auditor BPK itu masih menagih kekurangan sisa uang kepadanya. 

    Dapat Predikat WTP tapi Terjerat Korupsi 

    Selain Kementan, ada pula Bupati Bogor Ade Yasin yang ditangkap KPK karena menyuap auditor BPK agar laporan keuangan Pemkab Bogor tahun 2021 bisa tembus predikat WTP. 

    Ade Yasin menebus selembar opini WTP dari auditor BPK seharga Rp1,9 miliar. 

    Sebelumnya, tahun 2017, Irjen Kemendes dan PDTT juga ditangkap karena membeli predikat WTP senilai Rp240 juta. 

    Artinya, predikat WTP tak lantas membuat seorang kepala daerah merasa superior dan jumawa bahwa anggarannya bersih dan bebas korupsi. 

    Karena, tak sedikit pula kepala daerah yang meraih predikat WTP tapi berakhir di jeruji penjara karena terbeli kasus korupsi. 

    Demikian halnya dengan auditor BPK, bukan pula lembaga yang isinya auditor-auditor ‘bersih’ yang bebas dari kepentingan dan suap, apalagi jika berkaca pada kasus-kasus jual beli predikat WTP yang lalu-lalu. 

    Jual beli komoditas ini masih terjadi terus-menerus (bahkan) sampai saat ini, yang terendus aparat hukum dianggap sedang apes, sedang yang tak terendus masih lancar sampai saat ini, masih bisa tersenyum sumringah, masih asyik melobi dana insentif daerah. Soal janji kesejahteraan masyarakat, itu urusan nanti.