Mengapa Walikota Bandarlampung Bungkam Perihal Indikasi Pemalsuan Data Kembarannya?

Mengapa Walikota Bandarlampung Bungkam Perihal Indikasi Pemalsuan Data Kembarannya?

Usai cerita diperlakukan seperti “ratu” oleh sekelompok orang yang mengaku jurnalis -setelah Eka Afriana mengikuti dengar pendapat bersama anggota dewan- kini nama Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung itu menjadi buah bibir kembali. Dia mengaku telah merubah dokumen kependudukannya. Banyak pihak menilai, ini kebohongan terhadap publik secara sadar dan sistemik. Lantas apa kaitan dengan Walikota Eva Dwiana?

(Lontar.co): Bila memang senang diperlakukan sebagai “ratu” oleh para penghambanya, maka mestinya Eka tidak perlu kaget bila menjadi fokus sorotan, layaknya pemeran utama dalam suatu pementasan, dialah ratu panggungnya.

Sorotan itu bermula ketika ada pemberitaan yang mensinyalir Eka sudah memalsukan dokumen tahun kelahiran dan ijazah SMA-nya. Berbekal dokumen yang diperbaharuinya itu, Eka bisa lolos memenuhi persyaratan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Kabupaten Way Kanan tahun 2008.

Pucuk dicinta ulam tiba, nasib sedang berpihak, Eka lolos seleksi dan sejak saat itu menyandang predikat sebagai abdi negara. Sebuah pencapaian membanggakan yang menjadi impian tidak sedikit anggota masyarakat.

Hari-hari ini, selang 17 tahun kemudian, dokumentasi itu dipersoalkan. Berangkat dari hubungan Eva Dwiana selaku Walikota Bandarlampung dan Eka Afriana. Keduanya dikenal kembaran. Dan keduanya mengamini itu, sebab tidak pernah ada pernyataan dari salah satu atau keduanya yang menyangkal bahwa mereka bukan saudara kembar.

Kejanggalan akan terlihat bila menelaah tahun kelahiran mereka yang tertera pada dokumen kependudukan masing-masing. Eva disebut lahir pada 25 April 1970. Sedangkan Eka tanggal lahirnya tertera 25 April 1973. Ups! anak kembar kok lahir pada waktu yang berbeda. Bahkan selisih hingga 3 tahun.

BACA JUGA  Berlayar di Daratan, Kehidupan Baru Nelayan Kampung Cungkeng

Saat pemberitaan perihal dokumen kependudukan ini mencuat di berbagi portal berita, kemudian berkembang adanya indikasi unsur kebohongan terhadap publik secara sadar dan sistemik, akhirnya muncul tanggapan dari Eka.

Tak dinyana, Eka justru membenarkan adanya perbedaan pencantuman tahun kelahiran pada dokumen kependudukan miliknya. Perkiraan awal, dia bakal berkelit menyangkal isi pemberitaan. Sebaliknya Eka malah manggut mengamini. Ini jelas menarik. Artinya, data pemberitaan tidak terbantah.

Tapi yang lebih menarik lagi ketika Eka menguraikan cerita di balik berita. Secara eksplisit dia mengatakan, pengubahan tahun kelahiran dilakukan secara sengaja. Motivasinya karena soal keyakinan.

Iya, keyakinan. Tepatnya terkait alasan kesehatan dan kepercayaan spiritual. Eka cerita, semasa kecil dia kerap sakit-sakitan. Malah sering pula kesurupan. Bahkan mirip indigo, bisa melihat makhluk gaib. Orang tuanya berupaya menangani. Baik secara medis maupun nonmedis. Misalnya, konsultasi dengan kiai.

Sampai kemudian semua mengerucut pada satu keyakinan, bahwa harus ada yang “diubah” dari Eka. Pilihan jatuh untuk mengubah tahun kelahiran. Semenjak itu, masih menurut pengakuan Eka, data kependudukan dirinya mencantumkan tanggal kelahiran 25 April 1973. Usia yang lebih muda 3 tahun dari fakta sebenarnya. Melalui narasi yang dibangunnya, seakan Eka minta dimaklumi mengapa dia sampai merubah data dokumen kependudukannya.

BACA JUGA  ‘Jangan-jangan Truk Sampah Kota Bandarlampung itu Optimus Prime yang lagi Nyamar’ 

Tapi entah mengapa masih ada yang terasa ganjil dari cerita tersebut. Sebab, perubahan tahun kelahiran baru dilakukan ketika Eka sudah berusia 30 tahun. Artinya, sepanjang waktu sebelumnya, tidak pernah ada niatan untuk merubahnya.

Atau mungkin kesadaran baru muncul atas saran guru spiritualnya. Mungkin saja itu masuk akal untuk logika Eka. Tapi publik juga berhak bila memiliki pandangan berbeda.

Agaknya ada banyak “kebetulan” dalam perjalanan hidup Eka. Setelah kebetulan merubah data kelahiran saat usianya 30 tahun, kebetulan juga perubahan ini berdekatan waktunya dengan pendaftaran CPNS tadi.

Bayangkan, seandainya Eka tidak merubah dokumen, dia tentu tidak bisa menjadi ASN. Dan pasti kita tidak pernah mengenalnya sebagai Eka Afriana Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung. Jelas ini sebuah rangkaian kebetulan yang menguntungkan buat Eka.

Kalau tindakan Eka kemudian dianggap telah melakukan kebohongan kepada publik, bahkan banyak pihak bilang sangat lekat dengan aroma tindak pidana, hal menarik lainnya adalah bagaimana sikap Walikota Bandarlampung Eva Dwiana.

Ini menjadi penting mengingat persoalan yang sedang disorot publik terkait integritas anak buahnya, Eka Afriana, selaku kepala Dinas Pendidikan. Sebab, kalau memang benar analisa berbagai pihak akan adanya dalil pidana yang sudah dilanggar, maka sebagai kepala pemerintahan Eva sangat perlu menunjukkan sikap.

BACA JUGA  Uber PAD dalam Bayangan Resesi, tapi Hasilnya Nirmanfaat 

Jangan sampai muncul persepsi di publik, tidak adanya sikap jelas dari Eva lantaran kuatnya unsur nepotisme.

Selain itu agak sulit diterima akal kalau Eva tidak mengetahui “hal besar” (merubah tahun kelahiran) yang dilakukan kembarannya. Kalau diasumsikan Eva sudah tahu dan tetap mendapuk kembarannya sebagai kepala dinas, maka menjadi jelas posisinya bahwa Eva menganggap tindakan Eka tidak melanggar apa pun, apalagi hukum.

Itu mungkin yang menyebabkan belum pernah ada statemen konkrit dari walikota berkenaan dengan perubahan dokumen kependudukan Kadis Pendidikan Kota Bandarlampung yang disoal banyak pihak.

Hanya saja karena Eka Afriana sudah mengakui telah merubah dokumen kependudukan yang tentunya berimplikasi terhadap legitimasi statusnya sebagai ASN, mestinya Pemkot Bandarlampung baik lewat Eva selaku walikota atau pihak BKD (Badan Kepegawaian Daerah) memberikan pernyataan. Apakah ada dampak hukum atau tidak dari tindakan Kadisdik Kota Bandarlampung tersebut?

Ini menyangkut integritas, tidak hanya bagi Eka Afriana, melainkan juga integritas Pemkot Bandarlampung. Jadi tidak bisa dibiarkan dengan memakai jurus diam seribu bahasa sambil menunggu “gugatan” publik reda dengan sendirinya.

Tapi dari persoalan ini publik juga bisa menilai apakah pemimpin daerahnya peka dengan suara warganya atau lebih condong pada kepentingan keluarganya. (*)

Further reading