Maukah Warga Bandarlampung Diajak Pemimpinnya Mengejar Sensasi Spektakuler?

Ilustrasi bencana banjir yang terlalu sering terjadi hingga mengikis empati dan dianggap sebagai rutinitas musiman. (ilustrasi: Tim Kreatif Lontar)

Maukah Warga Bandarlampung Diajak Pemimpinnya Mengejar Sensasi Spektakuler?

Saat musim penghujan masih kerap menyatroni Bandarlampung pada tiga bulan pertama tahun ini, ada satir yang acapkali dilontarkan warga Kota Bandarlampung. Mereka bilang, hari-hari itu Walikota Eva Dwiana kerap kedapatan mendongakkan kepala ke langit.

(Lontar.co): Bila dilihat langit cerah, wajahnya pun menjadi semringah. Sebaliknya, bila di langit tampak awan mendung menggumpal bak memayungi sebagian area kota, wajah walikota bisa mendadak terlihat cemas. Lantaran hujan deras bisa dipastikan berarti banjir. Itu sudah menjadi semacam keniscayaan yang sulit ditolak!

Kalau boleh menerka, kecemasan itu bukan semata-mata lantaran ancaman banjirnya. Sebab, seperti sudah disebutkan tadi, banjir pasti datang. Kecemasan terbesar rasanya lebih dipantik oleh kekhawatiran akan ada jatuh korban lagi. Sebab, bukan satu atau dua nyawa warga yang telah putus direnggut gulungan derasnya banjir. Sudah terlalu banyak warga menjadi korban yang terus berulang.

Kalau itu sampai terjadi lagi bisa dipastikan sumpah serapah warga yang tak kalah deras seperti debit air yang melimpah dari sungai dan got, juga pasti bakal melabrak. Tanpa ampun. Sebab kebanyakan anggota masyarakat sudah kesal karena pemerintahnya seperti tidak berdaya melindungi kenyamanan dan keselamatan warga.

BACA JUGA  Ketika Jalan di Bandarlampung Dikuasai Sekelompok Orang 

Tapi agaknya kegundahan pemerintah kota hanya sebatas khawatir. Tidak lantas membikin kapok, hingga benar-benar menuntaskan masalah banjir. Buktinya, upaya normalisasi tidak dilakukan secara masif, meski mereka mengklaim telah melakukan normalisasi paling tidak pada 31 titik rawan banjir.

Tidak cukup rasanya menyelesaikan persoalan bahaya laten banjir hanya dengan mengeruk dan membikin bronjong pada 31 titik saja, sementara bila hujan deras mengguyur tak butuh waktu lama nyaris sekujur tubuh kota terancam banjir.

Oalah, mungkin akan ada yang menyangkal, ngomong memang perkara mudah. Tapi pelaksanaannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi kalau sudah menyangkut anggaran. Persoalannya akan lebih kompleks lagi.

Sepakat, persis. Saya setuju dengan pendapat itu. Tapi kita juga tentu masih ingat ungkapan Ada Banyak Jalan Menuju Roma. Termasuk dalam menangani banjir ini. Dengan bermodal niat kuat sebenarnya pemkot bisa melakukannya. Misalnya dengan memanfaatkan anggaran yang memang sudah sangat terbatas itu.

Andai Walikota Eva punya niat dari awal untuk mengantisipasi banjir dengan melakukan normalisasi dari hulu ke hilir, tentu dia bakal memanfaatkan anggaran seketat mungkin dengan memprioritaskan pencegahan banjir. Bukan malah mengedepankan mengejar pamor popularitas dengan membuat Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Siger Milenial, umpamanya.

BACA JUGA  Antara Imajinasi dan Prompt AI

Apalagi dengan membawa-bawa kepentingan umat Muslim, dengan menyebut salah satu tujuan pembuatan JPO untuk memfasilitasi umat Muslim dari kompleks perkantoran Pemkot yang hendak salat di Masjid Al Furqon.

Terlebih ongkos membuat jembatan itu tidak murah. Pemerintah sampai harus merogoh kocek hingga Rp20 miliar lebih. Bayangkan, andai Walikota sudah memprediksi Bandarlampung rentan direndam banjir, dan punya orientasi mengedepankan kepentingan publik, mestinya duit sebanyak itu bisa dipakai untuk upaya sedia payung sebelum hujan sebagai antisipasi banjir.

Tapi nyatanya proyek monumental, yang sejatinya kalau tidak dilakukan sekalipun tidak berdampak bagi keberlangsungan dinamika publik, justru dijadikan prioritas. Alhasil, JPO berdiri megah di antara banjir menggenangi pemukiman warga. Selain itu apakah harapan Walikota benar-benar tercapai setelah jembatan itu berdiri?

Tapi yang lebih bikin geleng-geleng kepala belum lagi tuntas penanganan ancaman banjir, Walikota Eva yang demen disapa dengan sebutan “Bunda”, sudah beralih ke imajinasi berikutnya. Kini, dia sedang menggadang-gadang rencana membuat rute kereta gantung sepanjang 4 kilometer. Jalur ini nantinya akan menjadi perlintasan kereta gantung yang menghubungkan rumah dinas walikota ke salah satu pulau.

BACA JUGA  Stereotip Identitas Perantau Asal Lampung di Jakarta dan Falsafah Otak, Otot, Ngotak, Ngotot 

Dengan bangga Eva berucap, “Mohon doanya. Ini akan menjadi wisata spektakuler dan pertama yang ada di Indonesia”. Silakan tanyakan ke publik, terutama yang masih was-was kalau hujan sedikit deras turun, apakah betul mereka butuh hal spektakuler seperti yang dimaksud kepala daerahnya?

Ngomong-ngomong soal JPO Siger Milenial dan proyek kereta gantung, saya jadi teringat dengan kerjaan monumental pembuatan menara berfasilitas lift di kompleks Masjid Al Furqon, beberapa tahun lalu. Proyek ini terkategori spektakuler juga mengingat menelan biaya puluhan miliar rupiah.

Tapi silakan tengok apakah lift di menara itu benar-benar beroperasi hari ini. Atau malah menjadi terbengkalai sesaat setelah diresmikan, untuk kemudian dibiarkan rusak dimakan waktu. Ini mungkin ganjaran setimpal bagi kita yang tergiur syahwat mengejar sensasi spektakuler. (*)   

Further reading