Penulis: Hendri Std


  • Beredar video seorang anggota DPRD Lampung Barat dalam acara Musrenbang Kecamatan Suoh yang ditafsirkan melegalkan aktivitas perambahan di Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

    Bandarlampung (Lontar.co): SELAIN itu ramai juga diperbincangkan bahwa Bupati Lampung Barat, Parosil Mabsus, disebut-sebut turut menyiratkan hal senada. Tak pelak, kedua pernyataan orang-orang penting ini menarik perhatian banyak pihak. Termasuk akademisi dan praktisi hukum, Hengki Irawan.

    Dikatakannya, bila benar motivasi para pembesar di Lampung Barat itu, menyiratkan pelegalan perambahan kawasan TNBBS, maka ditengarai kuat berpotensi melanggar hukum. Bila demikian, lanjut Hengki, maka dipandang perlu pihak Kejaksaan Tinggi Lampung untuk menyikapinya.

    “Pernyataan yang membela dan melegalkan perambahan hutan di kawasan konservasi jelas bertentangan dengan undang-undang. Kejaksaan harus segera melakukan penyelidikan atas dugaan keterlibatan mereka dalam praktik ilegal ini,” ungkap Hengki, melalui siaran pers yang diterima Lontar.co, Sabtu (15/3/2025).

    Adapun ketentuan aturan perundang-undangan yang dimaksudnya ialah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang dijelaskan pada:

    Pasal 67 huruf b yang berbunyi; kepala daerah wajib menaati seluruh peraturan perundang-undangan dan jika seorang Kepala Daerah melanggar hukum, maka dapat diberhentikan sesuai Pasal 78 huruf d.

    Kemudian, masih menurut Hengki, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang dijelaskan pada Pasal 105 huruf c, d dan g yang berbunyai sebagai berikut :

    c; melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf

    Lantas pada huruf d; ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d;

    Kemudian terakhir huruf g; dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas, sehingga terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf g.

    Jika terbukti melanggar, maka dapat dipidana dengan hukuman penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

    Hengki kembali menegaskan, dugaan keterlibatan pejabat dalam praktik ilegal ini tidak boleh dibiarkan, Kejaksaan Tinggi Lampung diharapkan segera mengambil langkah hukum guna memastikan bahwa aturan yang berlaku ditegakkan dan menindak siapapun, termasuk para pejabat sekalipun, bila terbukti menyalahgunakan kewenangan.

    “Kejaksaan Tinggi Lampung harus segera bertindak tegas, memanggil dan memeriksa semua pihak terkait, tanpa tebang pilih,” kata Hengki yang mengaku bersama NGO di Lampung Barat dalam waktu dekat akan menggelar dukungan agar pihak Kejati Lampung mengambil langkah terkait hal ini. (*)



  • Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) kembali menjadi sorotan. Terlebih ketika kebun kopi terus merangsek ke areal hutan. Pemerhati lingkungan menganggap ada pembiaran pengrusakan lingkungan. Nasib areal kawasan di ujung tanduk.

    Lampung Barat (Lontar.co): PENDIRI masyarakat independen GERMASI, Ridwan Maulana, menyodorkan data. Menurutnya dari total 57.530 hektare Kawasan Hutan TNBBS yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Lampung Barat, sedikitnya sekitar 21.925 hektare telah dibuka (open area) dan secara dominan berubah menjadi perkebunan kopi robusta.

    Perkebunan itu dikuasai warga? Ridwan menukas tidak seutuhnya demikian. Dia mensinyalir justru sebagian besar lahan kebun kopi di kawasan hutan tersebut dikuasai oleh pihak tertentu yang menggunakan nama masyarakat sebagai tameng.

    “Logika tersebut sangat mudah dicerna. Apakah mungkin warga biasa memiliki kemampuan membuka lahan kawasan seluas itu. Kami menengarai ada kejanggalan yang mengindikasikan campur tangan cukung di situ,” ungkap Ridwan kepada Lontar.co, Sabtu (15/3/2025).

    Dengan kata lain, sambungnya, pihaknya mengendus ada aroma peran oknum orang besar dan berpengaruh yang ikut bermain di balik alih fungsi hutan tersebut.

    Penilaian serupa juga diutarakan Edy Karizal, aktivis pemerhati lingkungan dari Lembaga Konservasi 21. Dia mengamini ada jejak pemain yang mengambil keuntungan besar dengan memanfaatkan situasi. “Kerusakan yang sudah masif ini menguntungkan perusahaan kopi. Modusnya, mereka tanpa harus memiliki lahan perkebunan dan tanpa butuh tenaga kerja. Hanya cukup mensuport petani kopi dari sisi budidaya dan pemasaran.

    Lantas kopi hasil dari kebun di kawasan konservasi itu mereka tampung. Mereka tampak menjadi pahlawan bagi warga pengelola kebun kopi. Situasi ini juga menjadi magnet tersendiri bagi warga lain untuk ikut-ikutan membuka lahan hutan untuk berkebun kopi,” urai Edy.

    Ironisnya lagi, masih menurut Edy, pemerintah daerah dalam hal ini Pemkab Lampung Barat, seakan tutup mata untuk tidak menyebut turut membiarkan proses alih fungsi lahan terjadi. Indikasi ini sangat kentara manakala menjelang musim pemilukada dan pemilihan legislatif.

    “Banyak oknum yang seakan turut menunjukkan keberpihakan kepada warga untuk penguasaan hutan, kendati praktik demikian jelas mengangkangi peraturan yang sah di negeri ini. Bagi oknum-oknum itu yang penting mereka bisa mendulang suara dukungan besar dari konstituen,” tukasnya.

    Di sisi lain, Edy menambahkan, melentingnya harga komoditi kopi robusta yang kebunnya banyak berada di kawasan hutan, semakin melanggengkan praktik pengrusakan kawasan.

    “Mungkin para oknum yang mendukung praktik serupa itu beralibi bahwa mereka juga berupaya memanusiakan manusia. Dalihnya mereka telah memberi penghidupan bagi warga yang berkebun kopi, meski itu di kawasan hutan,” katanya

    Padahal, sambung dia, pengrusakan hutan merupakan kejahatan besar karena tak ubahnya menyimpan “bom waktu” yang suatu saat bisa menimbulkan ledakan yang dampaknya bisa merugikan banyak pihak.

    “Hutan itu merupakan sumber plasma nutfah, sumber oksigen, dan penyerap karbon dioksida yang sangat besar. Hutan juga sumber mata air. Tidak hanya bagi Lampung Barat, melainkan juga buat wilayah kabupaten sekitar. Dengan mempertimbangkan kemungkinan ancaman di kemudian hari, tidak berlebihan kalau kita menganggap pengrusakan hutan saat ini sebagai tindakan biadab dan sangat tidak manusiawi. Lantaran sudah mengancam sumber kehidupan makhluk hidup dan juga manusia,” papar Edy.

    Beranjak dari uraian tersebut, Edy menyinggung Pemkab Lampung Barat mesti
    bertanggung jawab atas kerusakan ini. “Ada indikasi jelas telah melakukan pembiaran berlangsungnya pengrusakan Kawasan Hutan TNBBS,” pungkas dia.

    Oleh karenanya, dia berpendapat, tidak berlebihan kalau pemerintah pusat, TNI, Balai Besar TNBBS, dan aparat penegak hukum (APH) khususnya Kejaksaan Agung RI untuk turun tangan terkait keterlibatan oknum orang besar yang diduga menguasai lahan secara ilegal. (*)



  • Merasa terjepit oleh “tekanan” Kementerian Pertanian dan legislator Lampung, para pemilik pabrik tapioka kompak “mengadopsi” taktik tiki-taka yang biasa dipertontonkan Barcelona era Pep Guardiola. Tak dinyana para cukong itu seakan tengah menggocek bola panas untuk kemudian menyerang balik.

    (Progres.co.id): FILOSOFI tiki-taka di dunia persepakbolaan adalah mempertahankan penguasaan bola hingga muncul peluang menyerang. Ketika dihimpit serangan lawan, tim penganut taktik tiki-taka bakal menggerakkan bola dengan cepat keluar dari tekanan.

    Caranya dengan menggunakan passing satu-dua sentuhan bola. Lalu memastikan mengalirkan si kulit bundar ke ruang penguasaan, sambil tim mereposisi kembali pertahanan.

    Melalui umpan pendek dan cepat, namun tetap memelihara rasa sabar, pergerakkan difokuskan untuk membuka garis pertahanan lawan. Kalau sukses, tim yang awalnya dikepung dapat membalikkan keadaan dengan menggedor balik pertahanan lawan. Sambil, tentunya, mencari peluang buat melesakkan gol.

    Penulis melihat fenomena tiki-taka serupa ini berlangsung pula pada perkara singkong di Lampung. Bermula dari menjeritnya para petani lantaran harga singkong melorot tajam.

    Sudah disengat terik-dilabur debu, dan merogoh kocek dalam-dalam beli pupuk untuk menggemukkan singkong, ketika dijual pihak pabrikan ogah bayar sepadan. Jangankan balik modal. Petani singkong malah tepok jidat sambil mimik meringis pedih. Jerih payahnya tak ubah seperti sedang menyiapkan jerat tali untuk mencekik leher sendiri.

    Ketimbang frustrasi lalu amok, para petani memilih merapatkan barisan. Sum-suman menyewa truk untuk mengadu pada wakilnya di gedung parlemen di DPRD Lampung. Gayung bersambut, legislatif dan eksekutif menunjukkan keberpihakkan. Cukong-cukong pemilik pabrik tapioka dimintai komitmen membeli singkong petani -sebelumnya di bawah seribu per kilogram- menjadi Rp1.400 per kilogram.

    Pada titik ini “skuad pabrikan” mulai merasa diserang. Tak mau menyerah begitu saja mereka mulai terinspirasi taktik tiki-taka. Rebut bola lalu bermain passing. Alur bola lantas ditentukan mereka. Pelan-pelan saja. Sambil melihat peluang buat berkelit.

    Strategi pun dimulai. Biarpun keputusan bersama dan surat edaran terkait penetapan harga singkong sudah diberlakukan, para cukong mbalelo. Mereka tetap konsisten dengan langgam permainannya sendiri; membeli singkong tanpa menggubris harga kesepakatan. Tak pelak petani singkong terkejut. Mereka merasa kecele. Dipermainkan oleh tiki-taka bos pabrik tapioka.

    Tak sudi melihat nasib petani terus dipermainkan, Kementerian Pertanian langsung turun tangan. Konstelasi permainan untuk sesaat berubah. Bola berhasil direbut dan “seakan-akan” dikuasai tim petani.

    Terlebih setelah Menteri Pertanian, Amran, menegaskan harga singkong minimal Rp1.350 per kilogram. Selisih gocap dari ketentuan yang digariskan Pemprov Lampung. Mentan juga menutup keran impor singkong. Bisa dibuka, tapi dengan catatan ketat.

    Kini serangan berbalik arah. Gawang tim pabrikan terancam. Tapi apa lacur, skuad ini bukan klub amatir tarkam atau tarikan kampung yang mudah gugup saat di-pressure lawan. Keputusan Mentan memang terasa sebagai tekanan berat. Tapi bisnis ibarat sebuah permainan bola. Ada waktu menyerang pasar, tapi perlu pula wait and see menahan diri.

    Tak pelak siasat baru mesti disusun sebagai respon. Seluruh pemain sontak ditarik mundur. Ditumpuk di depan gawang, bertahan ala parkir bus. Agaknya, ini dianggap pilihan strategi paling pas, ketimbang langsung bertekuk lutut mengamini desakkan Mentan. Sebab manut pada instruksi tersebut sama artinya mengurangi cuan, menggerus profit.

    Taktik tiki-taka mesti terus diperagakan. Hanya saja perlu dimodifikasi. Passing bola memang masih dilakukan. Tapi kali ini hanya dialirkan di area pertahanan sendiri. Lalu pelan-pelan semua pemain menyusun barisan tepat di garis gawang, menutup celah.

    Dalam praktik realitanya satu per satu perusahaan tapioka itu menutup pabriknya. Menghentikan produksi. Mati suri. Itu berarti mereka tidak perlu tunduk pada keputusan kementan. Tak berproduksi sama artinya tak perlu menjalankan titah Amran.

    Celakanya, siasat ini langsung memakan korban. Petani singkong sontak kena dampaknya. Singkong mereka tak ada yang membeli, lalu rusak seiring raibnya harapan.

    Sebaliknya, melalui peragaan tiki-taka para cukong tapioka seakan sedang mengirim pesan. Keputusan Mentan menjadi tampak seperti bumerang. Menerabas urat nadi sumber penghidupan petani singkong itu sendiri.

    Sedangkan bagi para cukong, pabrik “rehat” sejenak bukan masalah besar. Karena isi pundi-pundi mereka masih penuh untuk menggerakkan bisnis lain. Ini gaya tiki-taka. Bermain passing pendek, sambil menunggu celah.

    Kalau saja pemerintah mau meladeni strategi tersebut, bisa saja menerapkan pola total football. Sebab, akar dari permainan tiki-taka itu diyakini berasal dari pola permainan sepakbola total football yang dianut tim Orange, Belanda.

    Kalau ditelusuri dari berbagai referensi, Wikipedia misalnya, disebutkan Johan Cruyff merupakan salah satu pencetus gaya permainan tiki-taka. Cruyff menerapkan gaya permainan ini saat menjabat sebagai manajer Barcelona dari tahun 1988 hingga 1996. 

    Sedangkan penggemar sepak bola juga sangat paham, Cruyff sendiri sebagai pemain timnas De Oranje, dia sangat fasih memainkan gaya khas Belanda, total football. Tiki-taka dan total football sama-sama menitikberatkan permainan dengan penguasaan bola.

    Maka, agar tidak “dilipet” oleh gaya tiki-taka cukong tapioka, pemerintah dapat saja menandinginya dengan total football.

    Kalau mau ditengok, filosofi total football adalah taktik permainan sepak bola yang mengedepankan penguasaan bola, intensitas tinggi, dan fleksibilitas formasi. Dalam pola ini, setiap pemain dapat mengambil alih peran pemain lain dalam sebuah tim.

    “Mengambil alih peran” menjadi kunciannya. Presiden Prabowo beberapa waktu lalu juga sempat menggelindingkan wacana, atau tepatnya mengeluarkan ancaman, terhadap pengusaha penggiling gabah.

    Semua berawal ketika ada banyak pengusaha penggilingan yang masih bermain-main dengan harga gabah kering. Presiden tidak terima. Dia langsung menyodorkan opsi: nurut atau usahanya ditutup, lalu penggilingan padi diambil alih oleh pemerintah. Ini fatsun total football sejati.

    Kalau mau, sikap tegas serupa ini juga bisa diterapkan di ranah komoditi singkong. Apalagi, kedudukan singkong sudah dinggap “setara” dengan padi, sebagai bagian dari kategori usaha tani subsektor tanaman pangan, termasuk di dalamnya jagung dan kedelai.

    Karena dianggap sebagai satu kategori, perlakuannya pun mulai disesuaikan. Ini bisa dilihat dari Permentan Nomor 4/2025 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian.

    Melalui Permentan ini, sama seperti padi, tanaman ubi kayu juga mulai memperoleh jatah pupuk subsidi.

    Kalau memang mau konsisten dengan prinsip tersebut, seharusnya pemerintah juga dapat mnerapkan jurus total football di ranah persingkongan. Minta pabrikan tapioka menghentikan akal-akalan pola tiki-takanya, atau pemerintah masuk mengambil alih pabrikan tapioka, seperti opsi yang disampaikn Presiden Prabowo pada pengusaha penggilingan gabah.

    Kalau ini benar-benar dilakukan, penulis yakin pola total football pemerintah bakal mampu mengatasi licinnya manuver tiki-taka pengusaha tapioka.(*)



  • Tak hanya menanam padi, pangkalan TNI AL (Lanal) Lampung dan Yonif 9 Marinir juga membudidayakan melon serta ikan bawal bintang. Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL), Laksamana TNI Muhammad Ali, menyampaikan apresiasi saat berkunjung ke lokasi.

    Pesawaran (Progres.co.id): TIDAK hanya sebatas berkunjung, Laksamana TNI Muhammad Ali juga turut mengawali panen raya padi di lahan Lanal. “Saya bangga atas pencapaian ini,” katanya kepada awak media, Senin (3/2/2025).

    Lebih lanjut Ali menjelaskan, hasil panen raya ini dapat dijadikan sebagai pendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk para murid sekolah, selain tentunya guna menopang tercapainya program Asta Cita Presiden RI Prabowo Subianto yang memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan.

    Dia juga menambahkan, secara keseluruhan TNI AL turut terlibat aktif dalam upaya tersebut. Misalnya melalui pengelolaan lahan pertanian seluas 500 hektare. “Lanal Lampung dan Yonif 9 Mar kebagian kelola 22 hektar lahan sawah. Dari total lahan garapan 500 hektar yang sudah panen 250 hektare, termasuk di Lampung. Saya dapat info, produktivitasnya mencapai 5 ton per hektare,” papar Ali yang didampingi Penjabat (Pj) Gubernur Lampung, Samsudin.

    Iring-iringan rombongan KSAL menuju lokasi program ketahanan pangan.

    Kegiatan lantas diteruskan dengan penanaman buah melon inthanon serta penanaman bibit mangrove. Keduanya juga meninjau Keramba Jaring Apung Brigade Infanteri 4 Mar/BS yang membudidayakan ikan bawal bintang di Dermaga Lembing. Selanjutnya diteruskan dengan penebaran bibit ikan nila, jelawat dan ikan nilem di kolam di area sekitar Mako Lanal Lampung Caligi. (*)