Industri film Indonesia makin jauh dari kualitas, semuanya melulu bicara kuantitas.Tiap hari, bioskop menjadi angker dengan film-film hantu yang cuma jualan jump scare. Di saat kualitas film makin memprihatinkan, film animasi Merah Putih One for All justru makin membuat rusuh.
(Lontar.co): Beberapa hari lalu, Sutradara Joko Anwar membuat status di akun Facebooknya,”buat kita, pembuat film horor yang itu-itu aja, gila lah!”.
Terlepas dari film horor yang ia promosikan ternyata biasa-biasa saja dan hanya mendapat rating 7/10, ada makna lain yang hendak disampaikan Joko Anwar, perihal betapa kualitas industri film di Indonesia yang sudah dalam tahap mengkhawatirkan, dengan hanya menjual ‘produk-produk’ yang senapas; jump scare.
Saat situasi film nasional sedang genting-gentingnya, pilem seburik Merah Putih One for All malah muncul, alasannya juga mengada-ada, cuma karena mau menyambut euforia kemerdekaan, tapi kedunguan yang ditampilkan.
Obral Jump Scare di Industri Film Indonesia
Kemarin, Jumbo sukses meruntuhkan hegemoni film-film horor. Tapi, Nussa The Movie yang rilis tahun 2021 lalu, hanya tembus kurang dari setengah juta penonton.
Ada anomali di penonton kita, sementara pocong dan sejenisnya begitu di puja-puja luar biasa.
Faktornya, karena sesuatu yang identik dengan industri, kecenderungannya adalah komersialisme produk, bukan idealisme karya. Ia bukan lagi bias bahkan berbeda jauh. Seperti semut dengan gajah, padahal yang dijual cuma jump scare murahan yang alurnya mudah ditebak.
Memprihatinkan memang, hari ini, penonton Indonesia, masih terlalu senang dikagetkan melalui jump scare-jump scare receh. Bayangkan untuk film sekelas KKN Desa Penari mereka bahkan rela mengantri dan mengular.
Dan, kemudian semua produser, semua sutradara cuma memanfaatkan kedok ‘selera’ untuk melindungi produk (filmnya) agar tak disebut industri yang cuma punya satu kiblat; untung.
Hasilnya, sampai hari ini bioskop kita cuma melulu tentang hantu, pocong, kuntilanak dan kawan-kawannya yang lain, karena horor pada prinsipnya hanya tentang itu-itu saja.
Rindu Film Berkualitas
Hari ini juga, kita rindu dengan; Mereka Bilang Saya Monyet, Daun di Atas Bantal, Pasir Berbisik, Losmen Bu Broto, Pulau Plastik, dan tentu saja, Nussa: The Movie hingga Jumbo.
Amat wajar ketika satu waktu, Sutradara Joko Anwar, pernah pula ber-satire dan mencuit di X yang menangisi film-film bernas yang menghilang, lewat kolesterolnya yang seketika naik dan kepalanya yang selalu pusing.
Ada yang menyebut sebuah film layak disebut berkualitas cukup dengan menggunakan tolak ukur jumlah penonton. Kenyataannya, penonton yang ramai tak selalu identik dengan kualitas.
Perlu diketahui, film-film horor yang gentayangan di bioskop-bioskop kini, jelas berbeda dengan Ada Apa dengan Cinta (2002).
Ada Apa dengan Cinta kala itu hadir seolah sebagai momentum kebangkitan film nasional, di tengah banjirnya film semi yang minim bujet, minim alur, minim dialog kecuali mengumbar syahwat yang serba ‘kentang’, tapi digilai oleh penonton yang sebenarnya memenuhi kehausan mereka akan film berkualitas tapi yang disuguhkan film semi serba nanggung sebagai akibat larangan sensor dari institusi yang punya otoritas penuh memutuskan sebuah film layak edar atau tidak; LSF.
Ada Apa dengan Cinta kala itu menjadi oase, ia bukan opsi, tapi ciri sebuah film, sebagai sebuah karya yang bernas dan cerdas dan dengan berani menawarkan diri untuk menjadi lawan di antara film-film semi murahan kala itu.
Yang pada akhirnya, AADC berhasil mendapat penonton dari berbagai segmen, itu berarti, kehausan akan sajian yang berkualitas memang masih ada, hanya saja ‘monopoli’ pasar film tak menjual itu.
Segmen dalam hal ini, mereka yang sekedar mencari hiburan dan mereka yang sudah terlanjur merindu begitu lama film berkualitas, semuanya menyatu dalam satu bioskop yang sama tapi punya kesimpulan yang berbeda satu sama lainnya tergantung dari mana mereka-mereka ini menilai.
Sedang, film-film horor kini, tak lebih dari memanfaatkan momentum semata, dari kelompok besar orang yang sebenarnya hanya bertindak mencari untung di ceruk industri film yang kemudian jeli melihat peluang industri untuk memproduksi karya yang sebenarnya murah.
Film adaptasi dari sebuah utas yang dibuat penuh teka-teki; KKN Desa Penari misalnya, hanya bermain di kuatnya pengaruh dengan memanfaatkan instrumen platform digital, sementara alur, jalan cerita, konsep filmnya cuma perkara remeh biasa, tapi kemudian penonton digiring untuk larut dalam euforia bersama untuk kemudian mempengaruhi mereka yang belum menonton lainnya, begitu saja. Dan ini berlaku pula untuk film-film horor kacangan lain, seperti; Vina: Sebelum 7 Hari dan banyak yang lainnya.
Sedangkan, KKN di Desa Penari, riuh oleh penonton karena pula memanfaatkan momentum dilonggarkannya PPKM pasca Covid-19 ketika itu.
KKN di Desa Penari sebenarnya pula kurang pas untuk dijadikan sebagai bagian perayaan dari Covid-19 yang melandai. Ketika itu padahal ada beberapa film lain yang tak kalah bagus ketimbang film KKN di Desa Penari.
Kualitas Film Indonesia tak Berjodoh dengan Kualitas Penonton
Dulu, saat film KKN di Desa Penari tayang hingga berbulan-bulan lamanya di bioskop, mereka yang merindui film yang berkualitas, tapi dianggap biasa-biasa saja dan membingungkan oleh mereka yang mayoritas, terpaksa ‘puasa’ film karena bioskop Indonesia sudah semakin angker dengan hantu-hantu manipulatif yang dipaksa dijejalkan di pikiran penonton.
Dan beruntungnya, mereka yang ‘paham’ soal kualitas tak ikut-ikutan euforia antri berdesak-desakan cuma sekedar untuk melihat setan bisa menari dan rombongan jump scare-nya yang berderet seperti kereta batu bara.
Sayangnya memang, film-film yang masuk dalam kategori berkualitas kerap tak berjodoh dengan kuantitas penontonnya, hanya sebagian kecil.
Angkanya tak signifikan sehingga amat susah untuk bersaing dengan sebuah industri yang amat masif membangun teror-teror promosi hingga menyasar ke media sosial demi sebuah untung besar.
Karenanya, film-film yang berkualitas kerap identik dengan segmentasi penonton. Mereka seperti komunitas kecil yang menikmati dan menghargai tiap alur, konsep, jalan cerita, siapa sutradaranya hingga watak tiap tokoh dengan amat detail bahkan kemudian meng-kritik mana kala ada ‘keanehan’ yang dipertimbangkan melalui nalar yang amat matang.
Sehingga, orang-orang seperti Riri Riza, Mira Lesmana maupun Joko Anwar kerap berhati-hati, karena garis api antara kualitas dan komersialitas amat tipis.
Berbeda dengan penonton yang cuma berhasil membangun kesimpulan yang sama ketika usai menonton, mereka tak punya target apalagi ekspektasi kecuali larut bersama jutaan penonton lainnya agar tidak sekedar dibilang ketinggalan, fomo dan kampungan.
Kualitas Film Indonesia itu Levelnya Dunia
Secara sadar atau tidak, film-film berkualitas Indonesia yang seperti tamu di negeri sendiri itu, justru menjadi tuan di negeri lain.
Mirisnya, keadaan ini justru menjadi penanda bahwa penikmat film di Indonesia memang benar-benar masih belum bisa membedakan mana film yang berkualitas dan mana film yang sekedar euforia dan tenar lewat ghibah.
Film-film sekelas Sekala Niskala karya Kamila Andini, Daun Di Atas Bantal, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak adalah film-film tanah air yang begitu disanjung di level internasional.
Kritikus di sana adalah tentang banyak pertimbangan yang matang tentang standar sebuah film, yang dianggap layak dan pantas untuk disebut berkualitas diukur dari berbagai hal yang amat detail.
Film bukan cuma dianggap sebagai sebuah tontonan tapi juga sebuah prestise.
Sementara di sini, film-film yang berkualitas justru dianggap menimbulkan polemik. Agak bias memang, tapi lagi-lagi ini pembeda antara film yang dibangun sebagai sebuah karya melalui idealisme-idealisme yang total, dengan film yang cenderung komersil yang menjadikannya semata industri, cepat datang, cepat hilang. Yang kalau tak kuat modal, jatah posternya cuma satu hari di bioskop.
Maka, tak aneh jika film berkualitas Indonesia itu penikmatnya adalah ‘orang lain’ di luar sana.
Pada masa-masa kini, kehadiran sebuah film dikritik hanya dengan menempatkannya pada sebuah industri, bandingkan dengan film-film India yang mungkin diproduksi hampir setiap hari, tapi genre film Bollywood memang terbatas, temanya juga monoton karena mereka yang mendayu-dayu ini memang punya penikmat sendiri.
Yang pada akhirnya, kritik tersebut bukan menjadi sebuah koreksi, dan keadaannya cuma sepintas lalu tanpa ada pembaruan di film berikutnya yang hanya tentang itu-itu saja, dikritik lagi, dibuat lagi, dikritik lagi, begitu saja sebagai sebuah siklus.
Sukses itu: Sekuel, Trilogi dan seterusnya
Lucunya lagi, film Indonesia itu punya kecenderungan untuk membaca pasar. Sukses film pertama yang dihitung dari jumlah penonton, maka akan ada sekuel, trilogi dan sambungan-sambungannya yang tiap lanjutannya dipaksakan agar menyatu dengan film sebelumnya.
Lagi-lagi ini hanya perkara industri, jika pasar sukses, maka yang akan datang kemudian adalah produk lanjutannya sambil harap-harap cemas bakal sukses untuk kemudian dibuat kembali lanjutannya, modusnya; cerita dibuat menggantung.
Orang-orang terlanjur menganggap film itu sebagai sebuah industri, tak salah sebenarnya. Tapi, film yang berkualitas itu sebenarnya butuh apresiasi juga yang bukan hanya sekedar dinikmati atau malah tidak mengerti jalan ceritanya, tapi membangun persepsi tentang film itu sendiri.
Ada pesan, ada makna yang coba dibangun, dan jika persepsi itu berbeda maka sejatinya karya hadir adalah untuk itu.
Ini bukan perkara memanjangkan napas mereka yang hidup di dunia film, tapi membangun karakter film dan penonton agar sama-sama berjodoh dengan kualitas yang saling menuntut para pihak ini, untuk benar-benar layak memperoleh apresiasi itu sendiri.
Merah Putih One for All; Animasi Nasionalis yang Miris
Yang terbaru tentu saja film Merah Putih One for All yang katanya karya anak bangsa tapi menyedihkan, padahal publik baru saja dibuat berdecak dengan Jumbo. Tapi, Merah Putih One for All justru malah merusak semangat kualitas anak bangsa untuk membuat film animasi berkelas dunia.
Film animasi yang jauh dari standar dan bahkan dibuat dengan begitu cepat ini, memang membuat kecewa semua orang, satu Indonesia bahkan.
Film yang kabarnya bujetnya tembus di angka Rp6,7 miliar lebih, tapi kualitasnya tak lebih dari tampilan grafis sekelas PS 2, tak ubahnya proyek Roro Jongrang, dikebut hanya sebulan kerja, bandingkan dengan Jumbo yang tiap setingnya dikerjakan dengan amat detail sampai butuh waktu 5 tahun untuk tontonan berkualitas yang hanya kurang dari 2 jam, ada effort di Jumbo, pun dengan Nussa: The Movie atau Battle of Surabaya!
Di saat banyak kreator animasi membuat tiap detail; gerak, seting dan karakter tiap tokoh seakurat mungkin, Merah Putih One for All malah menganggap remeh semuanya.
Belakangan lagi, sejumlah desainer animasi yang mengungkap banyak aset karakter di film Merah Putih One for All hasil beli dari marketplace khusus yang menjual produk-produk karakter animasi.
Itu juga belum termasuk proses render yang acak-acakan hingga terburu-buru, bagaimana mungkin gudang tempat menyimpan bendera terselip senjata otomatis dan proses pencahayaan yang membuat mata terlalu sakit, tapi kehadiran film animasi Merah Putih One for All setidaknya sudah menjadi representasi kualitas film Indonesia saat ini, yang terlalu dipaksakan ada.
Bisa jadi, produser Toto Soegriwo memang sengaja membuat film ini acak-acakan karena tahu kualitas penonton Indonesia, tapi setidaknya (mudah-mudahan), dari Merah Putih One for All ini, penonton mulai sadar mana film yang baik secara kualitas dan mana yang tidak.
Tapi, jika bicara untuk (sekedar) hiburan, Merah Putih One for All setidaknya jauh lebih ‘baik’ dibandingkan sekumpulan pocong dan kuntilanak yang terus berjejalan di gedung-gedung bioskop, setidaknya penonton bisa menertawai pilem-pilem sekelas proyek pemerentah yang ‘selesai tidak selesai harus dikumpul’.