In Memoriam Tjahjono Widarmanto:  Membaca Tanda ‘Senja Cokelat Tua’  

About Author
0 Comments

Tiba-tiba saya teringat puisi Tjahjono Widarmanto — kembaran Tjahjono Widijanto, keduanya sastrawan, dimuat KBANews, tatkala saya baca kabar lelayu yang dibagikan Tengsoe Tjahjono di FB-nya, Kamis 27 November 2025 pagi. Nama yang disebut terakhir juga sastrawan. Ketiganya adalah akademisi. 

(Lontar.co): Puisi itu berjudul “Angin, Malam, dan Catatan Beku”. Ini puisi lengkap Tjahjono Widarmanto (selanjutnya saya sebut Widar saja, karena kepada kembarannya saya bisa menyapa Widi). Puisi ini seperti hendak mengabarkan waktu sudah serupa “kepingan-kepingan”. Ia menulis begini:

Angin membelai senja berangkat menuju warna cokelat tua

seperti uban menjalar merayapi kepingan-kepingan waktu

“Sebentar lagi angin akan berumah di rongga malam,” bisikmu berdiri tegak

Angin merambat di antara dingin di kaca yang licin
seperti kanak-kanak belajar berlari tertatih-tatih
menjumputi bunga-bunga kertas berterbangan

Udara bergetar mendengar bisik-bisik serupa mantra

Setiap malam kita seperti para pezina yang dikutuk jadi buaya
berjalan tunduk mengenakan mantel ungu tua

“Sebentar lagi angin akan berumah di rongga malam,” bisikmu berdiri tegak

Kakimu gemetar. Aku cuma patung bisu.

Semua bergetar. Jangkrik bernyanyi parau. Usia merambat tiada melambat.

Kubuka buku harian. Kubacakan lamat-lamat untukmu: doa, mantera, jampi dan sejenisnya

Berdirimu tak lagi tegak. Goyah condong ke depan
seperti bayang-bayang terseok menuju tiang-tiang gantungan yang dingin

Kubacakan lamat-lamat untukmu
catatan beku meramal nasib
dikutuk luntang-lantung tanpa harapan,
tanpa suka cita, dan kehilangan pagi.

“Sebentar lagi angin akan berumah di rongga malam,” bisikmu gontai

Aku hanya diam. Menunjuk angin membelai senja
berangkat menuju gulita.

2024

Selain puisi di atas, KBANews juga menurunkan puisi-puisi Widar yang lain. Tetapi, mengapa dari puisi-puisinya itu saya seperti mencium aroma kematian? Wangi bunga-bunga, kenduri duka, dan serupa itu. Bahkan, penyair ini langsung menulis diksi “maut” dalam judul puisinya yang lain, yakni “Maut Begitu Indah di Saat Purnama” (KBANews, 19 Januari 2025).

*

angin membelai senja berangkat menuju warna cokelat tua” baris pertama yang sangat puitis, namun terasa amat dingin. Baris puisi itu menyusup langsung ke hati. Saya membayangkan ada angin yang membelai, senja pun berangkat menuju warna cokelat tua. Seperti maut itu tengah membelai sang penyair – juga membelai kita -, seakan sebuah tarian demi mengajak untuk melangkah ke warna cokelat tua itu.

Pada bait berikut, penyair Widarmanto semakin merasakan angin itu merambat seperti anak-anak belajar berlari. Saya membayangkan anak-anak yang belajar berlari; antara terjatuh dan berdiri kembali, demi memburu (waktu) senja yang cokelat tua itu. Kata Widar, Angin merambat di antara dingin di kaca yang licin/seperti kanak-kanak belajar berlari tertatih-tatih/menjumputi bunga-bunga kertas berterbangan.

BACA JUGA  60 Penulis ‘Menelisik Lampung’ Penuh Warna

Menikmati ulang puisi Widarmanto dalam KBANews itu, serasa saya masuki misteri maut yang begitu dekat dan akrab. Saya berulang memegang jakun dan urat leher, apakah maut juga telah lebih dekat dari diriku sendiri sebagai empunya urat leher? Puisi-puisi Widar, khusus ditayang media yang diredakturi Ahmad Nurullah — juga penyair — ini, sekali lagi, saya seperti mencium aroma kematian. Apalagi, setelah tahu ia wafat sekira pukul 05.00, Kamis 27 November 2025.

Selama kira-kira 6 bulan terakhir, Widar kerap masuk rumah sakit. Dirawat. Ia sering memposting momen di sana, baik itu puisi maupun saat ia membaca puisi. Saya pikir Widar semakin menuju sehat, tatkala membagikan momen di rumah baik saat duduk atau berjemur. Pada waktu lain, penyair-akademisi Tengsoe Tjahjono juga membagikan foto bersama Widar dan Widi. Sepertinya Tengsoe sedang membesuk ke rumah Widar. 

Terus terang, dibanding dengan Widi kembarannya, saya banyak berkomunikasi dengan Widar. Lewat WA. Ada saja yang dia tanya atau kabari. Saya juga kerap menanyakan sesuatu. Biasanya soal alamat email media jika kami dimuat namun di antara kami “belum mencicipi” media tersebut, pun ihwal “ada honornya tak?” Pertanyaan seperti ini memang klasik, tapi itu bumbu dari percakapan dalam chat pribadi. 

Ketika puisi kami bersama dimuat di satu media, misalnya di Majalah Sastra KARAS (edisi No 3, Juni 2021), penyair kelahiran Ngawi 18 April 1969 ini mengabari: “Selamat mas, puisi kita bersanding di Karas.” Dan, saya belum dapat info dari admin Karas. Ini contoh kami saling berkabar, selalu berkomunikasi. Komunikasi ini selalu saya jaga, juga kepada rekan-rekan sastrawan lain. 

Meski saya sering keliru menyebut Widar dan Widi. Tetapi, kedua kakak-beradik kembar ini tak memasalahkan. Hanya senyum-senyum lalu menerangkan dirinya. Tetapi, yang pasti, Widi dan Widar sangat ramah, santun, dan terpenting: familiar. Di berbagai event sastra kami sering bertemu. Misal pada Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (MUNSI) di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, 18-20 Juli 2017. Saya berjumpa dengan kedua penyair kembar ini. 

Ketika MUNSI ke 2 ini mau digelar, sejumlah sastrawan yang lolos seleksi buku atau karya sastra, mengancam tidak hadir. Mereka protes karena panitia — Pusat Pembinaan, Badan Pembinaan dan Pengembangan Kemendikbud, sebagai pelaksana kala itu — dinilai tidak konsisten. Sejumlah sastrawan membuat petisi yang ditujukan kepada Mendikbud. Mereka adalah (aku), Sosiawan Leak, Iyut Fitra, Tjahjono Widarmanto, Darman Moenir, Marhalim Zaini, Suyadi Saan, dan banyak lagi. Ternyata “gertakan” petisi itu sukses, seluruh sastrawan peserta MUNSI Ancol difasilitasi panitia. (link berita: https://lampungpro.co/news/panitia-musyawarah-nasional-sastra-indonesia-2-inkonsisten-sastrawan-kecewa) 

BACA JUGA  Bunda Eva Disorot Kamera

Menikmati kembali sajak-sajak Tjahjono Widarmanto tersebut, saya seakan sedang membaca tanda di luar diri manusia. Berkelebat angin maut itu. Bertamu lorong panjang dekat sekali di imaji saya. Widar telah selesai, tak lagi menandu sakitnya belakangan ini. Ia telah diam, “Menunjuk angin membelai senja/berangkat menuju gulita”. 

Begitu ikhlas rasanya. Saya juga membaca tanda kematian di puisi Widar yang lain, “Maut Begitu Indah Saat Purnama”. Demikian ia menulis: Cahaya itu menyerap waktu dan sisa-sisa sejarah/mengubah harum sajak-sajak jadi getir yang langu/cuma menjelma sekedar tanda//: hanya sekejap menggapai-gapai!

Berikutnya, dalam bait sajak tersebut, menggambarkan penyair dipaksa menengadah, menyeringai menatap negeri, “ roh melayang-layang tepat di atas ubun-ubun/menyeru-nyeru di seringai terakhir/: cahaya purnama mengelupas/persis kuning telur rebus busuk.”

Dan, Widarmanto seperti makin dekat dan merasakan maut yang bengis. Jantung gemetar, ketika tahu daun rontok. Perjalanan usia selayaknya sebatang pohon, dengan batang, cabang, dan daun-daun. Musim mengubahnya jadi kuning (ke)emas(an) untuk kemudian jatuh ke tanah. Terkubur oleh waktu, menjadi yang pertama penciptaan.

Demikian saya kutip saja Widarmanto yang berbicara ihwal maut. Beberapa tahun sebelum ia benar-benar meninggalkan dunia fana ini. Kematian adalah jeda untuk sampai di suatu tempat yang abadi. 

malaikat maut yang bengis
lecutkan geletar
memaksa jantung gemetar,
tangan dipaksa sedekap,
tubuh meringkuk seperti trenggiling,
kaki goyah melepas roh

Lantas nama-nama tercatat di daun itu rontok

membubung ke langit gelap yang suwung

Puisi yang ditulis dalam dua bagian ini, ditutup dengan baris-baris yang membuat kita berdebar. Tjahjono Widarmanto sudah membaca tanda keberakhirannya. Ia sudah beberapa bulan intens berdialog dengan maut, ia “diajarkan” tentang “masa depan” setelah kehidupan fana ini.

Begini ungkap Widarmanto,

/2/
terang tak selamanya melepaskan gelap
warna emas itu sembunyikan cemas di balik sarungnya
mengasah kapak yang segera ditetakkan
pada degup jantung dan tik tok arloji
: amboi cahaya itu penuh khianat!
di baliknya sepasang malaikat maut
memegangi kaki dan mencengkeram kepala
membetot roh dari persembunyiannya
kelamin pun basah oleh cemas dan putus asa

sepasang malaikat bengis itu
melontarkan pertanyaan-pertanyaan
tak satu pun kami sanggup menjawabnya

: maka di bawah purnama jasad kami nglumpruk diuruk tanah!

BACA JUGA  Buku yang Bertanya: Apa Kabar Bunda Literasi?  

Sajak itu bertitimangsa 2023, tetapi dimuat media massa pada 19 Januari 2025, artinya hanya 10 bulan jelang penyair tutup usia. Sebuah tanda yang diberikan Allah pada sang penyair? Boleh jadi.

Lalu pada puisi “Malin yang Lain” tampak kerinduan dirinya pada sosok ibu – tentu bisa pula “ibu yang lain”. Dalam puisi itu, ia mengibaratkan dirinya adalah sebuah kapal hitam yang megah dan kukuh, dan membawanya sangat jauh.

emak, aku tak tahu untuk apa kapal hitamku menepi

padahal kudengar nyaring suaramu, “aku menolakmu!”

//

Aku menolak rumah dan emak menolakku
“pohon-pohon harus ditebang!” desisnya tanpa air mata

Maka, aku pun jadi batu. Sejarah baru

*

Saya sempat menghubungi Widianto lewat inbox FB. Tidak seperti dengan Widar, kami saling menyimpan nomor kontak. Saya hendak menyampaikan duka cita langsung, dan Widi memberi tahu kalau pemakaman kembarannya pada bakda dzuhur. “Ini pemakaman habis dzuhur,” kata Widi. 

Widarmanto adalah penyair asal Ngawi dan juga seorang guru di kota itu. Ia menulis puisi, cerpen, artikel, dan berbagai buku tentang sastra. Tercatat, beberapa kali ia menerima penghargaan bidang kesastraan. Antara lain, versi Hari Puisi Indonesia 2016, dari Pusat Pembinaan Bahasa, Balai Bahasa Jawa Timur, dan lain-lain.

Penyair Tjahjono Widarmanto meninggal dunia dalam usia 56 tahun. Enam bulan terakhir ini ia bergelut dengan penyakit yang membuatnya keluar masuk rumah sakit. Berita lelayu pun tersebar, di grup WA sastrawan dan FB. Kepergian penyair seakan mengantar juga sajak-sajaknya ke tempat terakhir. Tersisa di pembaca adalah dengung, gema, dan bisikan lembut. 

Dari puisi, kita bisa membaca tanda. Tanda apa saja di hamparan bumi ini. Penyair Kristianto Agus Purnomo (Kriapur), almarhum, sebelum ia wafat karena kecelakaan berkendara, ia juga menulis puisi “KupahatMayatku di Air”. Demikian pula penyair Chairil Anwar dalam “Pemberian Tahu”. Para penyair telah menulis jalan pulangnya masing-masing; sebuah sajak futuristik. Puisi yang menyimpan daya ramal untuk penyairnya sendiri.

Seperti angin, bagi Tjahjono Widarmanto, ia melambai dan senja berangkat menuju warna cokelat tua. Seperti juga uban yang merambat untuk meninggalkan kepingan-kepingan waktu. Ya, manusia adalah waktu itu sendiri. Yang kelak, pasti, layaknya kepingan. Saat itu, segala warna menjadi cokelat tua. Daun-daun layu. Kabar lelayu pun menyebar. Inna lillahi wa inna ilaihi roojiun. 

Selamat jalan penyair, puisi akan tetap abadi di hati pembaca. * (Isbedy Stiawan ZS, sastrawan Indonesia asal Lampung)

Further reading