Pascademo Agustus 2025, pihak kepolisian menyita buku yang dianggap telah “mempengaruhi” pemikiran lalu memercikkan api turun ke jalan. Penyitaan ini terjadi di sejumlah daerah.
(Lontar.co): Sepertinya tak masuk akal, buku menjadi penyebab rakyat turun ke jalan. Jadi “harimau” di jalan-jalan. Buku seakan telah berubah jadi api atau pedang yang senantiasa “ngaceng”!
Diawali dari rumah aktivis yang ditengarai jadi “tokoh di balik” kerusuhan “Agustus membara”. Ia adalah Delpedro Marhaen. Juga di beberapa daerah, di antaranya di Bandung. Sejumlah buku yang dinilai “beraliran kiri” disita. Kita pun terkenang di masa Orde Baru; sejumlah buku yang dianggap aliran komunis diambil dan diberangus. Terutama karya-karya Pramoedya Ananta Toer, seperti Bumi Manusia.
Buku-buku yang disita polisi pasca Agustus Membara adalah karya-karya Franz Magnis Suseno hingga Pramoedya. Dari Oscar Wilde sampai Tsuji Jun. Begitulah cara negara; ingin memberangus pemikiran kritis sampai ke akar-akarnya.
Buku adalah representasi bebas berpikir dan berpendapat. Untuk membantah pemikiran seseorang, ialah dengan cara membuat tandingan baru. Buku ditandingkan dengan buku lagi. Penyitaan – bahkan jika sampai memberangus – sebuah tindakan “mabuk” sebelum menenggak arak.
Buku tak pernah salah. Ia akan dilupakan jika ada pemikiran dan pendapat baru yang lebih hebat. Buku hanyalah barang, jadi tak mungkin menggerakkan seseorang melebihi apa yang dimaui penulisnya. Ia bukan sihir. Hanya mengasupi akal dan hati seorang pembaca. Keterpengaruhan dari bacaan kepada seseorang sebetulnya hanya sedikit. Yang menggerakkan seseorang, misal jadi aktivis maupun anarkis, dibawa oleh ideologi lain dalam dirinya.
Buku, sebagai buah pemikiran, tetap bersih. Ia bebas dari segala ideologi. Yang meletakkan jadi paham ini dan itu, gerakan lain yang berada dalam diri seseorang. Betapa rugi kalau kita salahkan buku. Apalagi sampai menyita lalu membakarnya. Kita saka saja membakar hasil pemikiran.
Ada kisah yang menarik. Sejak kecil si anak diajarkan untuk membaca buku. Bukan sekadar mengeja baris, alinea, hingga halaman. Tetapi diwajibkan hafal. Sehingga biarpun nantinya buku tersebut dibakar, isi yang di buku itu sudah mengelak dalam kepala. Ini bukan untuk ditiru. Pasalnya, tradisi membaca harus digetokkan senantiasa. Iqra!
Forum-forum literasi – juga beriringan lahirnya taman baca masyarakat (TBM) – bagai jamur tak kenal musim, merupakan navigasi bahwa budaya membaca sangat penting. Wajib bagi manusia, sebagaimana terdapat dalam ayat-Nya: iqra, bacalah. Forum literasi, apapun namanya, dianggap penting untuk menyuburkan minat baca – juga menulis? Dari tingkat provinsi sampai pedesaan.
Forum literasi, biasanya, diketuai istri orang nomor satu di sana. Para ketua disebut Bunda Literasi, karena ia adalah istri gubernur, bupati/walikota. Kepengurusan di isi para pejabat, dan dua sampai lima orang biasanya penulis atau dari penerbit. Mantap kan?
Kalau TBM, biasanya dimotori oleh aktivis yang peduli pada minat baca. Bergeraknya variasi. Dari sekretariat sampai ke taman-taman. Membuka lapak baca. Buku-buku diperoleh dari sumbangan atau bantuan dari pemerintah dan perorangan.
Adakah provinsi atau kota/kabupaten yang tak memiliki forum literasi atau TBM? Rasa-rasanya tak ada. Belum lagi forum yang tumbuh di luar birokrasi seperti itu. Bergerak sendiri, saling mengeluarkan kocek masing-masing. Menemui sasaran hingga ke desa-desa, lalu membagikan buku gratis tis.
Kembali ke forum literasi, ketuanya disampa Bunda Literasi. Notabene istri gubernur atau walikota/bupati. Terkecuali kalau gubernur, walikota/bupatinya adalah perempuan, belum ada sebutan Bapak Literasi. Ya Bunda Literasi seakan orang yang paling banyak membaca (literasi), yang diakui mengoleksi banyak buku, dan sangat peduli serta mencintai membaca.
Tumbuhnya forum literasi dan silih berganti Bunda Literasi, bagaikan jamur yang tumbuh. Di mana-mana. Kecambah yang menjalar. Walau, disayangkan, tak mengikat dan berakar kuat. Jika pemimpin berganti, Bunda Literasi dilepas. Diserahkan ke Bunda Literasi yang baru. Terus begitu.
Sejak menjamurnya forum literasi ataupun taman baca, kita tak pernah tahu “ideologi” forum-forum itu untuk menggerakkan budaya baca dan mencerdaskan masyarakat melalui bacaan (buku dan sepadananan itu). Sebabnya, kita juga dihadapkan makin berkurangnya bacaan teks buku yang diterbitkan, ketia genre website merajai penduduk dunia.
Apakah para bunda (literasi) turut mengajak anak-anak bahwa bacaan bukan semata dari teks cetak, namun melalui internet juga sebagai bacaan yang perlu dan meniscaya.
Kecintaan pada bacaan dan budaya baca itu penting ditularkan dan digetokkan selalu. Tansah. Jangan boleh kendur. Rak buku di sekretariat atau dalam ruangan, sampai boks-boks buku di tepi jalan dan taman. Seperti yang pernah saya lihat di Leiden dan sejumlah kota di Belanda.
Mendukung minat baca masyarakat ini tak boleh setengah-setengah. Untuk mengajak masyarakat menyukai baca dan mencintai buku sebagai hasil pemikiran, tak bisa hanya dengan membentuk forum lalu mengangkat “sang ratu” menjadi Bunda Literasi. Tidak sederhana itu bro and sis!
Lewat tangan dan pemikiran Bunda Literasi akan lahir sebanyak-banyaknya anak bangsa yang suka baca dan cinta pada buku. Otak generasi (gen Z) dipenuhi berlembar-lembar halaman buku. Dan hatinya, tansah menjadikan buku sebagai jalan dan arah menuju kecerdasan. Seperti kepada umat muslim, telah mewajibkan alquran jadi petunjuk dan kabar (peringatan) gembira. Meski, tentu; buku dan Alquran jelas-jelas tak boleh disamakan.
Bunda Literasi lewat forumnya itu, sepatutnya mencanangkan pentingnya membaca – wajib iqra – lalu mencintai setiap buku yang ada. Dengan cinta, maka kita berkeharusan untuk menjaganya. Sedikit saja sobek, apakah sampul maupun isi, sedih. Kesedihan yang bukan dibuat, apatah lagi cuma akting.
Kita belum pernah dengar info kalau forum literasi – juga TBM – yang meradang tatkala buku-buku bacaan disita. Buku, apapun ideologi yang diusung di dalamnya, tetap sebagai bacaan. Karena itu, sepakat menolak jika negara menyita apalagi hendak memberangus/membakar. Ini realita.
Forum dan Bunda Literasi, saya tak tahu, apakah terlalu sibuk membikin modul cara masyarakat meminati budaya baca? Tetapi, lupa menjadikan buku sebagai jantung dan darah manusia, yang salah satu arah keberhasilan. Minimal tidak buta baca. Gelora minat literasi, sejatinya diiringi dengan mencintai buku. Dengan begitu, meminjamkan buku kepada orang lain saja berpikir panjang karena khawatir tak dipulangkan. Apatah lagi, buku disita sampai hendak dibakar?
Sampai di sini, sungguh saya merindukan Bunda Literasi bersama forum baca yang tumbuh layaknya jamur saat ini, yang meratap ketika buku disita oleh aparat keamanan, dalam hal ini (tangan) negara. Jadikan buku bebas dari faham-faham, sebab buku adalah bacaan yang bisa dibaca oleh siapa saja.
Maka ketika terjadi penyitaan buku pascademo Agustus Membara, seakan kini buku-buku itu bertanya kepada kita; apa kabar Bunda Literasi?
Apa kabar pecinta dan penggerak masyarakat cinta literasi dan baca. Apa anda turut terluka saat buku disita? Apakah merasakan tersita juga, bahwa kebebasan berpikir-berpendapat telah dikebiri?
Sekadar bertanya. Ini hanya gugahan manakala forum literasi berjamur di negeri ini, bersama ratusan lebih Bunda Literasi. Pada sisi lain, buku-buku disita seperti era Orba.(*)








