banyak jalan menuju Makkah
Abdul Rahman Yuni Siswanto, pesepeda asal Bandarlampung yang berhasil berhaji dengan sepeda setelah melintasi 11 negara. Foto: ist

Banyak Jalan Menuju Makkah

About Author
0 Comments

Tingginya biaya haji hingga lamanya daftar tunggu haji di Indonesia, dan tingkah korup pejabat Kemenag yang bermain di kuota haji, membuat sebagian orang memilih jalan lain menuju Makkah.

(Lontar.co): Tujuh bulan lebih, Abdul Rahman Yuni Siswanto mengayuh sepeda menuju ke Tanah Suci dari rumahnya di Kedamaian, Bandarlampung.

Tekad Abdul Rahman berangkat ke Makkah makin kuat mana kala ia tahu daftar tunggu haji di Lampung hingga hampir seperempat abad.

Dengan sepeda Federal, Abdul Rahman Yuni Siswanto melintasi 11 negara, dengan berbagai kronik kisah selama masa perjalanannya melintasi negara-negara yang beragam, termasuk negara yang sedang dalam kecamuk konflik, yang terkadang memaksanya harus mengikuti prosedur yang ekstra ketat agar bisa melintas di negara itu.

Persiapannya matang. Ia benar-benar sedang dipanggil oleh Allah untuk menjadi tamunya, meski harus menempuh jarak sejauh 12.853 kilometer, hanya dengan bersepeda.

Selain Abdul Rahman Siswanto, sebelumnya ada pula Yunus Abdurahman dan Ustadz Katori yang menunaikan ibadah haji dengan bersepeda yang kemudian menginspirasi banyak orang.

Jika ditarik semakin ke belakang, di tahun 2017, ada pula Mochammad Khamim Setiawan, pemuda asal Pekalongan, Jawa Tengah yang berangkat ke tanah suci dengan berjalan kaki.

Niatnya ini bukan cuma tak biasa tapi juga penuh dengan tantangan.

Ia bertolak dari rumahnya di Wonopringgo, Pekalongan pada 28 Agustus 2016, sejak itu petualangannya pun dimulai.

Ia melintasi berbagai negara dengan konsisten berjalan kaki, menapaki negara yang tak hanya berbeda secara geografis, tapi juga budaya, bahasa hingga keyakinan.

BACA JUGA  Duet Kembar Eva Dwiana & Eka Afriana, Mengapa Begini?

Masjid menjadi tempatnya beristirahat, tapi tak jarang, ia menumpang di rumah-rumah warga atau bahkan bermalam di hutan.

Cuaca yang ekstrem, fisik yang lelah hingga sempat menderita sakit ketika berada di Malaysia dan India adalah cerita perjalanannya yang amat panjang.

Tapi, dari situ, Mochammad Khamim Setiawan juga memetik banyak pelajaran yang amat berharga, tentang toleransi dan solidaritas. Ia banyak dibantu oleh orang-orang dari berbagai latar termasuk keyakinan. Ia bahkan disambut selayaknya saudara di salah satu kuil Budha yang ada di Thailand, hingga diberi bekal makanan oleh warga yang ada di salah satu desa di Myanmar.

Sepanjang 9 ribu kilometer perjalanan kaki ia tempuh, Mochammad Khamim Setiawan sampai di Makkah pada 19 Mei 2017, atau 10 bulan perjalanan.

Khamim akhirnya berada pada satu titik kesadaran, bahwa berhaji adalah tentang kembalinya setiap muslim kepada pemilik-Nya.

Kemudian, ada pula kisah perjalanan dramatis Eko Kusumawijaya dan istrinya, Nina Ginasari, yang berangkat memenuhi panggilan-Nya, bukan dengan sepeda, bukan pula dengan berjalan kaki, tapi berjalan ‘memutar’, justru titik tolaknya bukan dari Indonesia melainkan dari Thailand, sebuah Negeri Seribu Pagoda, yang bahkan untuk berhaji melalui tempat ini pun tak pernah bisa dibayangkan sebelumnya.

Tapi, dari sini, Eko dan Nina justru menemukan jalannya, menemukan langkahnya menuju Makkah, meski untuk sampai ke Bait Allah mereka juga menghadapi begitu banyak tantangan, termasuk menghadapi aksi demo besar anti pemerintah yang dilakukan oleh dua kelompok besar; kaus merah dan kaus kuning, yang bahkan memblokade bandara internasional Thailand, Suvarnabhumi, sehingga memaksa Eko, Nina dan sejumlah calon jamaah lainnya terpaksa berangkat melalui jalan darat dengan memutari setengah Negeri Gajah Putih itu.

BACA JUGA  Lada Lampung, Rempah yang Pernah Begitu Mempengaruhi Dunia

Kisah epik sekaligus mengharukan itu, direkam dengan begitu runtut oleh Eko Kusumawijaya melalui buku yang ia tulis secara detail mengenai perjalanannya menuju Makkah; Haji Ngeteng.

 

banyak jalan menuju Makkah
Penulis buku Haji Ngeteng, Eko Kusumawijaya saat membedah buku sekaligus menceritakan pengalamannya saat berhaji. Foto: Meza Swastika

 

Haji secara filosofis dilihat sebagai simbolik sebuah perjalanan hidup seorang muslim menuju Allah, sebagai tamu, mereka tak datang sendiri, tapi dipanggil oleh-Nya, melalui cara apa saja, Sang Khalik berkuasa menentukan dan menuntun jalan tiap muslim. Sebagai simbolisasi perjalanan hidup pula, haji menjadi refleksi tiap manusia mengingat asal usul sekaligus hakikat dari tujuan akhir dari kehidupan yang memang mengarah pada keesaan-Nya.

Berhaji yang sarat dengan nilai pengorbanan, kerendahan hati sekaligus kesabaran, memang menjadi ujian bagi tiap muslim, menanggalkan ego terhadap ke-aku-annya selama ini, bahwa manusia bukanlah siapa-siapa dan apa-apa.

Haji tak sekedar dilihat dalam perspektif forma, tapi juga harus dilihat secara keseluruhan, sebagaimana sifat dari ritual ibadah haji itu sendiri, yang penuh dengan makna-makna simbolik.

Kisah Khamim, Yuni Siswanto, dan Eko Kusumawijaya, adalah mereka-mereka yang meneguhkan iman dengan menempuh jarak yang teramat jauh demi menggapai Tanah yang Suci, melalui perjalanan spiritual yang menguji keimanan sekaligus ketahanan fisik dan mental yang luar biasa, seolah menelanjangi realitas dari bobroknya pengelolaan ibadah haji di Indonesia, yang karut marut oleh pejabat bobrok bermental korup, yang dengan serakah mempermainkan kuota haji hanya untuk memperkaya diri.

BACA JUGA  Menghidupkan Kembali Angkutan Kota di Bandarlampung itu Perintah, Bukan Kebutuhan

Di saat puluhan bahkan ratusan ribu calon jamaah haji terus berharap bisa berangkat haji lebih cepat dari daftar tunggu yang terlalu lama, sejumlah pejabat-pejabat busuk di Kemenag justru mempermainkan tambahan sebanyak 20 ribu kuota haji tahun 2024 dari pemerintah Arab Saudi.

Dalam pengusutan yang masih terus dilakukan sampai saat ini, menemukan adanya penyimpangan tambahan 20 ribu kuota haji.

Seharusnya, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, menyebut tambahan kuota dibagi dengan mekanisme 92 persen untuk menambah kuota haji reguler, sedang 8 persen sisanya diberikan untuk tambahan kuota haji khusus.

Kenyataannya, KPK justru menemukan pelanggaran dalam pengelolaan kuota haji tambahan itu, karena sebanyak 20 ribu kuota tambahan itu justru dibagi sama rata antara kuota haji reguler dan kuota haji khusus, dengan masing-masing mendapat tambahan 10 ribu kuota.

Padahal, seharusnya, kuota haji reguler mendapat tambahan sebanyak 18.400 kuota sesuai persentase yang diatur dalam ketentuan undang-undang, yakni 92 persen, sedangkan haji khusus seharusnya hanya mendapat tambahan 1.600 kuota saja, atau 2 persen dari kuota tambahan.

Dengan menambah kuota haji khusus yang melanggar ketentuan itu, KPK menduga adanya perolehan pendapatan yang lebih besar dari oknum-oknum mulai dari yang ada di Kemenag sampai pihak swasta sebagai pengelola kuota haji khusus ini.

Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Brigjen Asep Guntur Rahayu menyebut KPK terus menelusuri tiap alur korupsi pada kasus kuota haji ini, termasuk kepada siapa yang memberi perintah dalam hal pembagian kuota haji yang tak sesuai aturan ini.

Further reading